Liputan6.com, Jakarta Ekonom senior Faisal Basri mengkritisi kebijakan pemerintah yang memaksa pengusaha batu bara patuh terhadap aturan kewajiban pasokan dalam negeri, atau domestic market obligation (DMO).
Apabila tidak memenuhi kewajiban DMO batu bara, maka pengusaha tambang akan kembali dilarang ekspor batu bara.
Advertisement
Faisal menilai, kebijakan itu tidak ampuh memenuhi kecukupan stok batu bara di pasar dalam negeri. Dia menyarankan agar diberlakukan pajak ekspor.
"Kalau formula saya tidak perlu ada DMO, tidak perlu ada sanksi, tidak perlu ada larangan ekspor, tidak perlu macem-macem, tapi pajak ekspor," ujar dia dalam sesi webinar, Rabu (26/1/2022).
Dijelaskannya, pajak ekspor bisa diimplementasikan dengan menyesuaikan harga batu bara di pasaran. Itu dihitung dari rata-rata ongkos produksi baik di industri semen maupun industri batu bara.
"Plus keuntungan normal, katakan 10 persen, manti dihitung semua. Keluar lah angka USD 60 misal. Pada level USD 60, pajak ekspornya nol. Kalau harga batu bara USD 100, pajak ekspornya 10 persen. Kalau USD 150, 25 persen. Kalau USD 200, 50 persen," paparnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dianggap Merepotkan
Menurut dia, kebijakan pemenuhan DMO saat ini terlalu merepotkan. Padahal, dengan adanya pajak ekspor otomatis harga batu bara di dalam negeri nantinya akan ikut turun.
"Jadi PLN enggak usah ngemis-ngemis DMO. Kalau pemerintah mau harga PLN USD 70 per ton, cari yang harga pita pajak yang harga dalam negerinya jadi USD 70. Selesai semua," kata Faisal.
"Jadi tidak ada namanya batu bara untuk PLN USD 70, untuk pabrik semen USD 90. Tidak ada. Apa urusannya pabrik semen USD 90, kenapa enggak USD 80? Kenapa enggak USD 100? Tidak ada landasannya sama sekali," tegasnya.
Advertisement