Bank Dunia Prediksi Ekonomi AS Tumbuh 3,7 Persen di 2022

Di 2021, ekonomi AS sempat tumbuh pada tingkat tercepat dalam beberapa dekade karena bangkit kembali dari lockdown.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 28 Jan 2022, 19:00 WIB
Para penumpang mengenakan masker berjalan di Grand Central Terminal di New York, 8 Juli 2020. Jumlah kasus COVID-19 di AS telah melampaui angka 3 juta pada Rabu (8/7), tepatnya 3.009.611 kasus hingga pukul 11.34 waktu setempat, menurut lembaga CSSE di Universitas Johns Hopkins. (Xinhua/Wang Ying)

Liputan6.com, Jakarta - Analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) bakal melambat tahun ini. 

Hal itu dikarenakan langkah pemerintah mengurangi stimulus dan Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) menaikkan suku bunga. Penyebab pelambatan lainnya termasuk inflasi yang tinggi dan ancaman dari varian baru Covid-19, Omicron.

Dilansir dari BBC, Jumat (28/1/2022) Bank Dunia memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 3,7 persen tahun ini, sejalan dengan perkiraan lainnya.

"Gelombang Omicron berarti ekonomi mulai 2022 dengan pijakan yang jauh lebih lemah dan kami memperkirakan pertumbuhan akan mengecewakan selama sisa tahun ini juga," kata Andrew Hunter, ekonom senior AS di Capital Economics.

Di 2021, ekonomi AS sempat tumbuh pada tingkat tercepat dalam beberapa dekade karena bangkit kembali dari lockdown.

Angka resmi dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan ekonomi tumbuh sebesar 5,7 persen - kinerja terbaiknya sejak 1984.

Pengeluaran konsumen dan stimulus pemerintah membantu memperkuat rebound dari tahun 2020, ketika produk domestik bruto berkontraksi sebesar 3,4 peresn saat pandemi melanda.

Sementara itu, pasar tenaga kerja di AS kini telah pulih kembali dengan mendapatkan sekitar 19 juta dari 22 juta pekerjaan yang hilang di tengah penutupan tahun lalu.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kenaikan Suku Bunga The Fed Hingga Penurunan Pasar Saham

Para pejalan kaki melintas di Times Square New York, Amerika Serikat (AS) (12/12/2020). Total kasus COVID-19 di AS menembus angka 16 juta pada Sabtu (12/12), menurut Center for Systems Science and Engineering (CSSE) di Universitas Johns Hopkins. (Xinhua/Michael Nagle)

Presiden AS Joe Biden memuji angka-angka pertumbuhan ekonomi dan pemulihan tenaga kerja, dengan mengatakan hal itu "bukan kebetulan" melainkan didorong oleh upaya pemulihan pemerintah.

Ketika stimulus pandemi mereda, Biden mendesak Kongres untuk melaksanakan rencana pengeluaran tambahan yang berfokus pada energi terbarukan, manufaktur, dan penitipan anak.

Tetapi dengan agenda Biden yang saat ini terhenti di Kongres, ekonomi AS kemungkinan harus berjalan tanpa dorongan itu - dan dengan lebih sedikit bantuan dari Bank Sentral AS.

Pada Rabu (26/1), ketua Federal Reserve Jerome Powell mengisyaratkan para pejabat berencana untuk menaikkan suku bunga utamanya pada bulan Maret untuk pertama kali sejak 2018, mengatakan ekonomi tidak lagi membutuhkan biaya pinjaman ekstra rendah yang diberlakukan pada tahun 2020 untuk membantunya.

"Tantangan yang menentukan bagi ekonomi dalam satu atau dua tahun ke depan adalah seberapa baik kita dapat mempertahankan pertumbuhan tidak hanya tanpa adanya kebijakan fiskal, tetapi dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter," tulis ekonom Wells Fargo dalam sebuah catatan penelitian.

The Fed tengah berada di bawah tekanan untuk mengatasi inflasi karena AS melihat harga naik pada tingkat tercepat mereka dalam hampir 40 tahun.

Pasar saham AS telah mengalami penurunan selama tiga minggu berturut-turut di tengah kekhawatiran, serta data terbaru menunjukkan perlambatan karena penyebaran Omicron pada akhir Desember 2021 dan Januari 2022.

"Angka hari ini mengukur PDB hingga akhir Desember 2021, tidak termasuk beberapa lonjakan kasus Covid-19 baru-baru ini," kata Richard Flynn, direktur pelaksana di Charles Schwab UK.

"Memang, ada pelemahan di seluruh indeks saham AS pada minggu-minggu pertama tahun 2022, karena investor mencerna beberapa risiko yang dihadapi ekonomi: surutnya likuiditas moneter dan fiskal, efek terus-menerus dari pandemi, dan peningkatan tekanan inflasi," tambahnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya