Liputan6.com, Jakarta Bagi Ummy Lesthary, seorang ibu dari anak Moebius Syndrome bernama Adelio, hidup tak pernah salah. Meski butuh waktu untuk menerima semua kondisi dan kenyataan pada anak keduanya itu, Ummy tidak menyerah untuk terus saling memberikan semangat pada orang tua yang memiliki anak Moebius syndrome.
Wanita yang juga Founder Yayasan RA Peduli di Bogor tersebut menceritakan bagaimana awalnya ia tahu bahwa anaknya memiliki Moebius Syndrome.
Advertisement
Ummy sejak hamil sama sekali tidak merasakan keanehan apapun. Ia bahkan rutin memeriksakan kandungannya.
“Kayak hamil pertama saja, santai. Enggak ada yang dirasa sakit ini itu. Waktu itu belum ada USG 4D, tapi menurut keterangan dokter enggak ada yang mencurigakan. Semua masih dalam batas normal,” katanya dalam Live Instagram Konekin di Hari Kesadaran Moebius Syndrome Sedunia, ditulis Minggu (30/1/2022).
Hingga akhirnya Adelio lahir, ia harus mendapatkan perawatan dokter terus menerus karena kelainan jari-jarinya. Ia juga tidak memiliki dada kanan sehingga dokter mendiagnosis Adelio dengan Poland Syndrome (penyakit langka yang membuat seseorang lahir tanpa otot di bagian tubuh tertentu.
“Awalnya itu yang diketahui sampai usianya 3 bulan. Lalu, dokter mengatakan ia tidak memiliki ekspresi dan terlihat alis mata turun sebelah seperti tidak simetris. Dari situ dokter curiga Adelio memiliki kondisi lain yaitu Moebius Syndrome,” katanya.
Sindrom Moebius merupakan kondisi kelainan neurologis langka, yang bisa muncul dalam 1 per 50.000 atau 1 per 500.000 kelahiran. Adanya kelumpuhan pada saraf tersebut membuat anak dengan Sindrom Moebius tidak bisa tersenyum, mengerutkan kening, mengerutkan bibir, menaikkan alis, atau menutup kelopak mata dan melirik keluar.
“Awalnya saya nggak peduli. Ini penyakit apa? Kita nggak pernah denger. Saya baca-baca ini termasuk penyakit langka. Waktu itu saya masih fokus untuk menutup katup jantungnya. Tapi dokter ngasih bimbingan terus. Karena mata kiri Adelio kurang fokus, kami konsul ke dokter mata,” ujarnya.
Ummy mengatakan, sangat sulit bagi Adelio untuk berekspresi. Bahkan saat menangis pun air matanya tidak keluar.
“Saya terus bertanya, ini kenapa ya dok, kok menangis enggak ada suaranya. Keluar air mata sebelah kanan aja. Untuk ngeluarin lidah aja nggak pernah. Makanya dia rutin terapi dari usia 1 tahun. Dan saya masih nggak percaya moebius. Berprasangka baik saja,” kenangnya ketika itu.
Pada usia 3,5 tahun, Adelio masih makan pakai NGT atau selang makan yang dipasang di hidungnya karena tidak bisa menelan.
“Akibat dari moebius itu, bukan hanya gangguan ekspresi saja. Tapi gigi Adelio yang awalnya bagus tiba-tiba rusak, keropos,” katanya.
Kondisi Adelio sekarang
Saat ini, usia Adelio menginjak 5,5 tahun. Namun bicaranya masih terbata-bata. Meski begitu, Adelio senang sekali bercerita tentang semua hal walaupun Ummy kadang kurang mengerti apa yang dia ceritakan. Sang kakak biasanya lebih paham apa yang dimaksud Adelio.
“Misal dia punya mainan baru, enggak semua kata-katanya saya mengerti. Memang masalah pertama itu komunikasi. Saya sebel sama diri sendiri, saya saja susah mengerti. Kayak misalnya, anak-anak main sepeda. Terus dia kan belum bisa jalan, ternyata dia ngomong panjang, pengin (naik sepeda),” katanya.
Adelio juga mau sekolah. Sayangnya dari 3 PAUD yang didatangi, belum ada sekolah yang bisa menerima kondisi Adelio.
"Bukan karena tidak mau menerima, tapi karena kapasitas gurunya belum memadai. Jadi kita masih panggil guru ke rumah. Penginnya, Adelio bisa main bareng temen-temennya di sekolah," ujarnya.
Ummy juga mengatakan, Adelio masih mengikuti terapi wicara dan fisioterapi. "Adelio tidak pernah mengonsumsi obat, obatnya ya itu fisioterapi."
Advertisement
Butuh waktu menerima diri sendiri
Satu tahun merawat Adelio, bagi Ummy merupakan waktu tersulit bagi dirinya. Beruntung, ia memiliki support system yang baik. Sang suami dan anak pertamanya terus memberikan dukungan baik secara fisik dan mental.
"Terus terang saya dulu kesel, kok saya dititip anak luar biasa. Saya enggak pernah ngurusin diri saya, apalagi Adelio. Jadi saya ke rumah sakit ya mendampingi aja, enggak mau tahu," kata Ummy.
Memang, kata Ummy, untuk menerima semuanya butuh waktu dan tidak bisa dipaksakan. "Seiring waktu, saya paham sendiri bahwa untuk menerima dan ikhlas menjalani hidup memang nggak semudah itu. Terus terang buat saya ini susah dijalani. Tapi ketika saya mulai menerima kondisi anak ini, ada jalannya aja gitu semuanya."
Ummy sadar, setiap mengantar Adelio ke rumah sakit, ia banyak bertemu orang tua lain dengan kondisi anaknya yang jauh lebih membuatnya sedih. "Rasanya pengin bantu, tapi saya mungkin ga bisa secara finansial akhirnya saya bikin gerakan sahabat Adelio di rumah sakit."
"Entah Moebius, ataupun penyakit lainnya, anak itu menuntun kita untuk belajar menerima, sabar dan memahami kondisinya. Mungkin enggak seperti yang ada di pikiran kita, tapi di titik sekarang, teman-teman yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus, Allah tidak salah menitipkan mereka pada kita," kata Ummy lagi.
Berkat Adelio, cita-cita Ummy berubah haluan. "Sekarang ia kerap membantu sesama dan lebih senang bersosialisasi dan juga memberi semangat pada orang tua dengan moebius syndrome."
"Di indonesia, yang kita ketahui ada 12 anak dengan moebius syndrome. Saya punya satu grup yang saling support orang tua moebius, ada dari Bandung, Sukabumi, Jambi, Samarinda, Pangandaran, Bogor, Martapura dan lain-lain, ada juga dari Malaysia yang ikut gabung."
Kedepannya, Ummy berharap bisa membuat edukasi seputar Moebius Syndrome melalui akun media sosialnya agar para orang tua bisa sama-sama berjuang dan sharing informasi.