Liputan6.com, Jakarta - Akulturasi budaya terjadi ketika adanya perpaduan antar dua kebudayaan atau lebih, sehingga menghasilkan kebudayaan baru. Bentuk akulturasi bisa dilihat dengan mudah di Indonesia. Salah satu contohnya adalah akulturasi budaya Indonesia dengan Bangsa China atau Tionghoa. Proses ini sudah berjalan sejak ribuan tahun lalu dan hingga saat ini hasilnya masih bisa dinikmati dan dilihat.
Dilansir dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, proses akulturasi budaya Indonesia dengan Tiongkok, terjadi saat mereka datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka bukan hanya menjual atau membeli hasil bumi, tapi juga turut menyebarkan budaya mereka, sehingga proses akulturasi dengan budaya lokal Indonesia tidak bisa dihindari. Hal itu juga terjadi dalam gaya berpakaian atau busana.
Akulturasi budaya Indonesia dengan Tionghoa melahirkan busana dengan ciri khas motif atau model yang unik. Contohnya batik Lasem China, yang mudah ditemukan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Busana batik ini memadukan motif pakaian Tiongkok dengan karakteristik atau model batik di Indonesia. Contohnya, motif naga yang dipadukan dengan motif batik Jawa, dan lain sebagainya.
Baca Juga
Advertisement
Hal itu juga diakui seorang perajin batik bernama Indrawati atau lebih dikenal dengan panggilan Bu Giok. Ia berasal dari keluarga pembatik. Kedua orangtuanya, Gouw Tjin Lian dan Thio Lin Nio, dikenal hebat dalam mencampur warna batik.
"Kalau menurut saya perpaduan budaya ini sudah ada sejak lama. Dulu nenek saya dan ibu saya sering memakai sarung dan kebaya encim yang dibordir, dan itu hampir sama dengan kebaya kita," terang Bu Giok pada Liputan6.com, 27 Januari 2022.
Wanita berusia sekitar 78 tahun ini menambahkan, beda kebaya encim dengan kebaya khas Indonesia adalah tidak memakai kutu baru (tambahan kain yang menghubungkan sisi kanan dan kiri kebaya). Menurut Bu Giok, sarung juga terpengaruh dari kain khas Tionghoa, tapi bedanya sarung di Indonesia sebagian besar memakai kain wiron.
"Sarung banyak disukai karena lebih praktis dan lebih santai, desainnya juga praktis karena tidak terlalu banyak lilitan. Jadi bisa dibilang budaya Tiongkok cukup berpengaruh dalam perkembamgan pakaian adat dan budaya Indonesia," tuturnya.
Pendapat hampir senada juga datang dari desainer ternama Indonesia, Sebastian Gunawan. Ia bahkan mengatakan, pengaruh budaya Tionghoa terhadap pakaian adat atau tradisional bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di beberapa negara lainnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Cheongsam
"Pengaruh budaya Tionghoa terhadap pakaian bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah celana panjang yang awal mulanya berasal dari China, dan menurut sejarah pengaruh itu dibawa ke masyarakat Eropa," terang pria yang akrab disapa Seba itu pada Liputan6.com, 27 Januari 2022.
Ia menambahkan model Mandarin Collar atau kerah Mandarin juga terpegaruh budaya Tionghoa. Sedangkan pakaian tradisional Indonesia yang terpengaruh dari budaya Tionghoa di antaranya adalah kebaya encim dan baju koko. Menurut Seba, pengaruh itu bisa terjadi karena berbagai faktor seperti budaya, sosial, politik, ekonomi dan religi.
Berbagai faktor tersebut terjadi karena budaya Tiongkok sudah masuk sejak beratus-ratus tahun yang lalu. "Budaya Tiongkok masih terus berkembangan sampai sekarang karena adanya perkembangan zaman dan budaya ideologi," sambungnya.
Di sisi lain, budayawan Tionghoa asal Cirebon, Jeremy Huang juga mengatakan kebaya encim termasuk salah satu pakaian tradisional yang terpengaruh budaya Tionghoa. Selain itu ada juga baju koko atau cheongsam.
"Sepengetahun saya kebaya encim itu merupakan akulturasi antara kebaya Indonesia dengan model pakaian serupa di Tiongkok terutama dari segi bordirannya. Model-modelnya ada yang brokat dan ada batik juga," jelas Jeremy saat dihubungi Liputan6.com, 26 Januari 2022.
Menurut Jeremy, pengaruh budaya Tionghoa terhadap pakaian adat Indonesia diperkirakan sudah terjadi sejak abad ke-15 dan ke-16. Akulturasi dua budaya ini diyakini bisa terjadi karena banyak warga Tionghoa sudah lama menetap di Indonesia sehingga terjadi beragam perpaduan dalam berbagai hal kehidupan termasuk dalam berpakaian.
Advertisement
Warna-Warna Cerah
Faktor lainnya, kata Jeremy, ada sejumlah kesamaan dalam motif seperti sama-sama menyukai warna-warna cerah. Salah satunya adalah batik lasem yang didominasi warna-warna merah menyala.
"Batik lasem ini identik dengan motif merah menyala yang terpengaruh dengan budaya Tiongkok karena merah melambangkan lima unsur yang saling mempengaruhi yaitu air atau udara, api, logam, tanah dan kayu. Unsur api dianggap melambangkan kemewahan, banyak yang memakai warna merah karena melambangkan keceriaan dan kegembiraan," tutur Jeremy. Selain merah, warna kuning juga banyak jadi pilihan orang Tionghoa karena identik dengan emas.
"Semakin tinggi jabatan di masyarakat China dilambamgkan dengan warna, kuning dan biru. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakan, yang paling disukai adalah merah, kuning dan biru, sedangkan warna lain seperti hijau dan cokelat jarang dipakai karena dianggap lebih gelap, tidak bercahaya," ungkap Jeremy.
Ia menambahkan, pengaruh budaya Tionghoa masih akan terus terjadi termasuk di bidang fesyen. Bahkan akan terjadi banyak akulturasi karena tren semakin berubah dan tidak stagnan.
"Pengulangan memang akan selalu ada, seperti tren back to sixty, fifty atau bahkan fourty, tapi dikombnasikan dengan hal-hal baru karena kreativitas akan terus berkembang. Di saat Imlek misalnya, warga Tionghoa biasanya wajib menggunakan warna merah, kuning atau biru. Jadi tradisi tetap dipertahankan, tapi dengan beragam inovasi dan kreasi terbaru," pungkasnya.
Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion
Advertisement