Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pembangunan Ibu kota Baru terlalu mengada-ngada.
Dalam Pembukaan Rakernas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) 2022 secara virtual, pada Sabtu 29 Januari 2022, Presiden Jokowi mengatakan program IKN bukan sekedar pindah gedung pemerintahan. Pemindahan ibu kota adalah pindah cara kerja, pindah mindset dengan berbasis pada ekonomi modern, dan membangun kehidupan sosial lebih adil dan inklusif.
Selanjutnya, Jokowi menyebutkan program IKN ada dijadikan pemerintah sebagai sebuah showcase transformasi baik di bidang lingkungan, cara kerja, basis ekonomi, teknologi, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih berkualitas.
Serta, transformasi tata sosial yang lebih majemuk, toleran dan menjunjung tinggi etika dan akhlak mulia. Pemerintah saat ini tengah mengawal beberapa transformasi besar, yaitu melakukan transformasi struktural agar Indonesia semakin kompetitif di tengah tingginya kompetisi di tingkat global.
Ronny menilai, tidak menemukan satupun korelasi positif antara tujuan yang diharapkan Jokowi dengan pembangunan ibu kota baru. Dalam berbagai penelitian ekonomi di dunia ini, tak ada satupun yang menyebutkan pemindahan ibu kota sebagai prakondisinya.
“Sama sekali tidak ada. Narasi yang dibangun Jokowi atas ibu kota baru terlalu delusional, mengada-ngada,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Senin (31/1/2022).
Jika pemerintah memberikan justifikasi penambahan belanja pemerintah untuk mempertahankan gerak langkah pertumbuhan ekonomi, atau menjaga agar input ekonomi tetap bisa didorong oleh kebijakan fiskal negara via proyek-proyek di Ibukota baru, maka masih bisa diterima.
“Tapi jika memakai alasan transformasi struktural dan alasan ini itu yang secara tidak langsung justru menyudutkan Jakarta, saya kira terlalu berlebihan dan cenderung delusional,” ucap Ronny.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Contoh dan Malaysia dan Amerika Serikat
Dia pun mencontohkan, pembangunan ibu kota baru yang telah dilakukan Malaysia dan Amerika Serikat. Di Malaysia terdapat Putrajaya yang menggantikan posisi Kuala Lumpur sebagai pusat Pemerintahan yang baru, serta Washington menggantikan New York.
Membangun besar-besaran secara fisik ibu kota baru di satu lokasi tidak akan berimbas pada pemerataan dan transformasi struktural ke seluruh lokasi, dan juga tidak memperbaiki pemerataan ekonomi dan transformasi struktural di suatu negara.
“Sidney tetap lebih menarik dan tenar ketimbang Canberra. Dan pemindahan ibukota ke Canberra bukanlah sebab atas gerak dinamis perekonomian di Australia,” ujarnya.
Hal itu terjadi, Karena tergantung apa yang dibangun di sana. Kalau yang dibangun hanya pusat administratif, maka imbas ekonomi, imbas pemerataan, dan imbas transformasi stukturalnya tidak akan terlalu "wah," bahkan boleh jadi tidak ada.
“Jadi, it's just wishful thinking. Bukankah Seoul hanya beberapa puluh kilometer dari Pyongyang, sangat jauh ke Busan, tapi kemajuan di Busan tetap luar biasa dan transformasi struktural di Korsel berjalan bagus. Think about it,” pungkas Ronny.
Advertisement