Sambut Tahun Baru Imlek 2022, Rupiah Ditutup Menguat

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jelang Tahun Baru Imlek ditutup menguat seiring optimisme terhadap pemulihan ekonomi global.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Jan 2022, 17:30 WIB
Teller menunjukkan mata uang rupiah di bank, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah yang belakangan terjadi terhadap dolar Amerika Serikat sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia dan mekanisme pasar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jelang Tahun Baru Imlek ditutup menguat seiring optimisme terhadap pemulihan ekonomi global.

Rupiah sore ini ditutup menguat 7 poin atau 0,05 persen ke posisi 14.368 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.375 per dolar AS.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, sentimen pasar global terhadap aset berisiko menjadi positif hari ini. Indeks saham Asia seperti Nikkei dan Hang Seng ditutup positif. Indeks saham Eropa pun dibuka menguat.

"Sentimen positif ini mungkin ditopang oleh optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi global karena laporan penghasilan perusahaan yang terdaftar di bursa lebih bagus dari ekspektasi. Ada juga yang memanfaatkan buy on dip, beli di harga murah," ujar Ariston seperti dikutip dari Antara, Senin (31/1/2022).

Ariston menyampaikan pertumbuhan PDB AS pada kuartal IV 2021 yang melebihi ekspektasi juga mengonfirmasi potensi pemulihan ekonomi ke depan.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Ekonomi AS

Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Penguatan Rupiah dipengaruhi aliran masuk modal asing yang cukup besar pada Mei dan Juni 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonomi AS pada triwulan akhir tahun lalu tumbuh 6,9 persen, di atas perkiraan 5,5 persen.

"Tapi di sisi lain, arah harga masih bisa berbalik karena sentimen kebijakan pengetatan moneter The Fed dan kasus harian COVID-19 global yang terus meningkat," kata Ariston.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya