Liputan6.com, Jakarta - Gelaran penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) berjalan kurang mulus pada awal 2022. Secara global, realisasi IPO tercatat senilai USD 26,7 miliar atau sekitar Rp 383,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.367 per dolar AS), turun 60 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. IPO tahun ini dibayangi pasar yang bergolak.
Prospek kenaikan suku bunga, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan ketegangan geopolitik, membuat ekuitas global terjerembab dalam bulan terburuk sejak pandemi dimulai.
Advertisement
Melansir laman Yahoo Finance, saham teknologi dengan pertumbuhannya yang signifikan, termasuk IPO baru-baru ini, sangat rentan terhadap aksi jual karena investor berbondong-bondong melirik ke saham yang lebih murah.
"Ini adalah situasi yang sangat sulit untuk listing baru sekarang. Banyak investor bergulat dengan portofolio mereka yang berubah negatif dan melakukan rotasi berdasarkan valuasi. Sehingga menekan minat terhadap pertumbuhan saham yang mendominasi pasar IPO tahun lalu,” kata Andreas Bernstorff, kepala pasar modal ekuitas Eropa di BNP Paribas SA, dikutip Selasa (1/2/2022).
Di New York, gejolak pasar telah membuat setidaknya sembilan perusahaan membatalkan IPO, termasuk platform sumber daya manusia berbasis cloud Justworks Inc. dan Four Springs Capital Trust.
Hiruk-pikuk IPO lewat skema perusahaan akuisisi tujuan khusus (special-purpose acquisition company/SPAC) yang sempat jadi perbincangan hangat pada awal 2021 lalu, kini telah berbalik arah dengan dibatalkannya SPAC senilai USD 4 miliar bulan ini.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kondisi di Eropa
Di Eropa, startup WeTransfer menarik rencana debutnya di Amsterdam pada Kamis lalu setelah gagal menarik permintaan investor dalam jumlah besar. Sehari kemudian, pembuat obat Jerman Cheplapharm Arzneimittel GmbH mengumumkan penundaan rencana IPO.
Ada pula Firma hukum Inggris Mishcon de Reya LLP yang telah menunda rencana IPO-nya. Padahal, aksi itu disebut akan menjadi IPO firma hukum terbesar di dunia untuk kedua kalinya.
Penurunan permintaan investor dan pasar yang tidak stabil telah menyebabkan nilai IPO yang dibatalkan hampir dua kali lipat di seluruh dunia dibandingkan tahun lalu, mencapai USD 6,2 miliar sejauh ini.
Korban lain baru-baru ini adalah Hyundai Engineering Co dari Korea Selatan, yang menarik listingnya senilai USD 1 miliar pada Jumat setelah gagal menarik target investor yang direncanakan.
Advertisement
Di Hong Kong
Di Hong Kong, bursa setempat mencatatkan pendapatan yang turun lebih dari 40 persen tahun ini karena tindakan keras peraturan China yang memaksa perusahaan untuk menunda rencana IPO.
Sejauh ini, IPO terbesar yang telah diumumkan berasal dari sektor teknologi, layanan online, dan e-commerce, termasuk saingan TikTok Kuaishou Technology di Hong Kong, penyedia loker parsel Polandia, InPost SA, dan aplikasi kencan AS Bumble Inc.
Perusahaan-perusahaan ini melihat lonjakan permintaan selama pembatasan. Alih-alih untung, kinerja perusahaan-perusahaan tersebut justru nyungsep ketika ekonomi dibuka kembali. Sembilan dari 10 IPO terbesar tahun lalu saat ini terbenam.
Di antaranya, perusahaan ride-hailing DiDi Global Inc. turun 73 persen sejak listingnya memimpin pasar di sektor nya. Lalu ada perusahaan pembuat truk listrik Rivian Automotive Inc. yang turun 67 persen dari puncaknya seminggu setelah debutnya pada November lalu.