Liputan6.com, Seoul - Seorang polisi senior di Korea Selatan (Korsel) divonis empat tahun penjara akibat melakukan kekerasan seksual. Serangan dilakukan pelaku di berbagai kesempatan.
Dilaporkan Yonhap, Kamis (3/2/2022), polisi berusia 51 tahun itu bertugas di Seoul. Kasus ini bergulir sejak 2020.
Baca Juga
Advertisement
Pada 2019, pelaku dengan nama keluarga Lee ini masuk ke rumah korban dan melakukan serangan seksual pada 2019.
Ia juga pernah menyerang korban yang sedang mabuk pada 2018. Pelaku mengakui semua tuduhan tersebut di pengadilan.
Selain hukuman empat tahun penjara, pelaku juga harus mengikuti program treatment kejahatan seksual, durasinya 40 jam. Ia pun dilarang bekerja di institusi terkait anak hingga tiga tahun.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemerintah RI Nilai RUU TPKS Harus Atur Kekerasan Seksual di Dunia Digital
Beralih ke dinamika di dalam negeri, pemerintah terus mendorong kekerasan seksual berbasis online dimuat dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Terlebih, kekerasan seksual di ruang digital saat ini marak terjadi.
“Kekerasan seksual di dunia digital sudah marak terjadi. Maka hal ini harus diatur secara penuh dalam Undang-undang. Harapan masyarakat terkait kekerasan seksual berbasis online ini akan dimasukkan dalam DIM [Daftar Inventaris Masalah] Pemerintah setelah ada draf RUU resmi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” kata Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani dalam siaran persnya, Kamis (20/1).
Dia menekankan pentingnya mengakomodasi Kekerasan Seksual Berbasis Online dalam RUU TPKS. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, selama tahun 2020 hingga 2021 menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual berbasis online, yaitu dari 241 kasus menjadi 940 kasus.
Jaleswari menyampaikan spektrum kekerasan seksual di dunia digital bukan hanya seputar pelecehan online. Namun, meliputi tindakan memperdaya (cyber grooming), peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto/video pribadi dan lain-lain.
"Mirisnya kekerasan berbasis online ini paling banyak menimpa remaja perempuan dan pelakunya rata-rata adalah orang yang pernah dekat dengan korban seperti pacar atau mantan pacar," jelasnya.
Advertisement