Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Agama mengingatkan bahwa tidak semua instansi dapat begitu saja disebut sebagai Pondok Pesantren. Hal ini menyusul terjadinya berbagai peristiwa dan isu negatif di lembaga pendidikan.
"Ketika menyebut pesantren, dalam undang-undang itu harus memenuhi lima rukun," tutur Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementrian Agama, Waryono Abdul Ghafur di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/2/2022).
Advertisement
Menurut Waryono, publik dan media perlu dapat membedakan antara Pondok Pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. Rukun atau unsur pertama yang mesti dipenuhi sebuah lembaga untuk dapat disebut sebagai pesantren adalah adanya kiai.
"Pertama harus ada pengasuh yang lazim disebut kiai. Harus definitif, standarnya harus jelas," ujarnya.
Kiai ini pun mesti memang dikenal sebagai sosok yang arif di masyarakat, tidak hanya dinilai berdasarkan penampilan atau pun status. Kemudian yang kedua, harus ada santri yang menetap di asrama atau mukim.
"Minimal 15. Tidak boleh dari keluarga kiai, jadi harus orang lain. Jadi kalau santrinya bolak balik, dia hanya sekolah saja, belum disebut santri," jelas Waryono.
Unsur 3-5
Unsur ketiga adalah harus ada bangunan asrama tempat santri bermukim. Dalam perkembangannya, banyak dikenal dengan istilah boarding school.
"Keempat, harus ada tempat ibadah musala, langgar, masjid yang khusus," terangnya.
Dan kelima, Waryono melanjutkan, ada kajian atau pun pembelajaran kitab kuning. Unsur terakhir inilah yang tidak semua lembaga atau boarding school sekali pun memilikinya.
"Jadi harus hati-hati kalau ada kejadian di suatu tempat tapi tidak memenuhi lima unsur tidak bisa disebut pesantren," Waryono menandaskan.
Advertisement