, Melbourne - Sebanyak 90 juta kasus COVID-19 telah dilaporkan sejak Varian Omicron diidentifikasi 10 minggu lalu. Demikian dikatakan oleh Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurutnya, jumlah tersebut lebih banyak dari pada jumlah kasus sepanjang tahun 2020, yang merupakan tahun pertama pandemi COVID-19.
Advertisement
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyeus kemudian memperingatkan bahwa Omicron tidak boleh diremehkan, meskipun telah terbukti membawa penyakit yang lebih ringan daripada varian sebelumnya tapi "peningkatan kematian yang sangat mengkhawatirkan di sebagian besar wilayah dunia." Ia pun menyorot banyak negara melonggarkan pembatasan mereka di tengah kelelahan publik.
"Kami prihatin ada narasi yang telah menjadi pegangan di beberapa negara bahwa karena sudah ada vaksin dan penularan Omicron yang tinggi dengan tingkat keparahan yang lebih rendah, maka pencegahan penularan tidak memungkinkan dan tidak lagi diperlukan," katanya dalam pengarahan rutin WHO tentang pandemi seperti dikutip dari ABC Australia, Jumat (3/2/2022).
"Ini tidak benar," tambah Tedros.
"Terlalu dini bagi negara mana pun untuk menyerah atau menyatakan kemenangan. Virus ini berbahaya dan terus berkembang di depan mata kita sendiri."
Negara-Negara Eropa Melonggarkan Pembatasan
WHO mengatakan empat dari enam wilayahnya di seluruh dunia mengalami peningkatan tren kematian.
Banyak negara Eropa telah mulai melonggarkan pembatasan dan lockdown, termasuk Inggris, Prancis, Irlandia, dan Belanda, sementara Finlandia akan mengakhiri pembatasan COVID-19 bulan ini.
Pada hari Selasa 1 Februari, pemerintah Denmark membatalkan sebagian besar pembatasan yang ditujukan untuk memerangi pandemi, dengan mengatakan tidak lagi menganggap COVID-19 sebagai "penyakit kritis secara sosial."
Negara berpenduduk 5,8 juta jiwa itu dalam beberapa pekan terakhir mengalami lebih dari 50.000 kasus baru setiap hari, tetapi jumlah pasien di unit perawatan intensif telah menurun.
“Sekarang bukan waktunya untuk mengangkat semuanya sekaligus. Kami selalu mendesak — selalu mendesak — kehati-hatian dalam menerapkan intervensi serta mencabut intervensi tersebut secara mantap dan perlahan, selangkah demi selangkah,” kata Maria Van Kerkhove, Pimpinan teknis WHO tentang COVID-19.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jangan Hanya Membabi Buta Mengikuti Negara Lain
Dr Michael Ryan, kepala kedaruratan WHO, mengatakan negara-negara dengan tingkat vaksinasi COVID-19 yang lebih tinggi "memiliki lebih banyak pilihan" apakah mereka mau melonggarkan pembatasan, tetapi mereka juga harus menilai faktor-faktor epidemiologi mereka saat ini, misalnya populasi berisiko, kekebalan dalam populasi, dan akses perawatan kesehatan untuk memerangi pandemi.
"Setiap negara harus menemukan pijakannya, tahu di mana ia berpijak, tahu ke mana ia ingin pergi, dan memetakan jalannya ... Anda dapat melihat apa yang dilakukan negara lain. Tapi tolong jangan hanya mengikuti secara membabi buta apa yang dilakukan negara-negara lain," kata dr. Ryan.
Dia juga menyatakan keprihatinan bahwa ada "tekanan politik yang mengakibatkan orang-orang di beberapa negara membuka diri sebelum waktunya sehingga akan mengakibatkan penularan yang tidak perlu, penyakit parah yang tidak perlu, dan kematian yang tidak perlu."
Sementara itu, Dr Van Kerkhove juga mengatakan sekelompok ahli yang dibentuk tahun lalu untuk melihat munculnya patogen baru seperti Virus Corona – dan menilai asal-usulnya – diperkirakan akan mengeluarkan laporan “dalam beberapa minggu mendatang.”
Dia mengatakan kelompok itu, yang dikenal dengan akronim SAGO, telah mengadakan beberapa pertemuan sejak akhir November.
Dia mengatakan kelompok itu akan melihat studi epidemiologi awal dan "pemahaman kami saat ini tentang asal-usul pandemi khusus ini, dibangun berdasar misi ke China sebelumnya dan hasil kerja sama dengan para ilmuwan China."
Advertisement