Liputan6.com, Jakarta Kemandirian ketahanan kesehatan Indonesia, salah satunya dalam penyediaan obat-obatan menjadi hal penting yang harus disadari di masa pandemi Covid-19 ini.
Itu sebabnya, Komisi VI DPR RI mendorong agar obat-obatan yang diproduksi di dalam negeri atau Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) bisa digunakan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Advertisement
Bahkan ini menjadi salah satu kesimpulan Komisi VI dalam RDPU yang berlangsung pada Rabu (2/2/2022). Di mana, industri farmasi dalam negeri dikatakan harus diperkuat.
"Komisi VI mendukung penerapan Formularium Nasional untuk ketersediaan dan penggunaan obat yang aman, berkhasiat, bermutu, terjangkau dan berbasis bukti ilmiah dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang memberikan penguatan kepada Industri Farmasi Nasional," kata Wakil Ketua Komisi VI Gde Sumarjaya Linggih saat membacakan kesimpulan atau Catatan RDPU.
Rapat tersebut juga menyimpulkan bahwa kapasitas industri farmasi nasional berlebih dan sangat sanggup untuk kemandirian obat nasional.
"Besarnya nilai investasi untuk mencapai kemandirian obat membuat semua pihak harus suportif, adaptif, dan kolaboratif untuk menjamin digunakannya produk produksi dalam negeri," kata Gde Sumarjaya.
Komisi VI akan menyampaikan hasil RDPU ini kepada mitra kerja mereka dalam Rapat Kerja dengan Menteri BUMN, Menteri Perdagangan, Menteri Investasi, Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia.
Dalam rapat, Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP, Harris Turino yang menyoroti berbagai isu kesehatan di Indonesia.
"Harapannya kita cari solusinya agar obat-obat OMAI, Obat Modern Asli Indonesia bisa masuk ke JKN. Karena kalau tidak masuk ke JKN susah sekali. Pasar terbesarnya adalah di JKN," kata dia.
Doktor Manajemen Stratejik ini menilai bahwa keberadaan JKN yang telah melayani lebih dari 200 juta penduduk Indonesia menjadi pasar yang besar bagi para pelaku usaha farmasi, melalui lelang ekatalog, harga obat-obatan menjadi sangat murah.
Sementara itu pelaku industri farmasi di Indonesia harus terus berinvestasi menambah kapasitas dan memenuhi CDOB BPOM.
Pemerintah dinilai hadir mendukung pelaku usaha farmasi yang sudah berkomitmen melakukan investasi dan pengembangan.
"Ini yang juga kita harus cari solusinya, obat-obatan yang sudah bisa diproduksi secara nasional maka importasinya harus dibatasi," kata dia.
Harris menambahkan bahwa saat ini sudah ada super deduction tax yang bisa dimanfaatkan industri farmasi yang mengembangkan inovasi, termasuk untuk pengembangan OMAI.
Selain itu ada pula UU Sisnas IPTEK yang menjamin pembelian atas produksi dari pengembangan riset.
"Sehingga harapannya ini bisa diimplementasikan, tidak menimbulkan keraguan bagi pemain di industri farma, untuk melakukan investasi, tentu saja juga industri OMAI yang fitofarmaka, karena kekuatan Indonesia di obat tradisional," imbuh Harris.
Senada dengan Harris, Anggota Komisi VI Rieke Diah Pitaloka dalam rapat tersebut menyatakan bahwa sistem Jaminan Kesehatan Nasional seharusnya memperkuat industri farmasi dalam negeri.
"Jangan sampai orang sudah produksi, hasil produksinya tidak dibeli. Tapi kalau ada orang tidak produksi lalu ada permintaan dari negara, lalu dikatakan industri farmasi kita tidak sanggup," ungkap Rieke yang pernah menjadi Anggota Komisi Kesehatan tersebut.
Rieke menambahkan bahwa ada Permenkes No 54/2018 yang mengatur penyusunan Formularium Nasional. "Kita perlu memastikan obat-obatan yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri apakah sudah dipastikan masuk dalam Formularium Nasional itu?"
Anggota Komisi VI Nevi Zuairina kemudian mempertanyakan, apakah obat yang berasal dari kekayaan alam Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat.
Kata Pelaku Industri Farmasi
Pengusaha dalam Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dan Asosiasi Apotek Indonesia, tturut hadir dalam RDPU.
Ketua Umum GPFI Tirto Kusnadi menegaskan, industri farmasi yang menjadi anggotanya berkomitmen untuk menyediakan obat-obatan kebutuhan dalam negeri.
Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi menambahkan, sudah saatnya obat berbahan baku alam yang telah teruji klinis atau Fitofarmaka masuk dalam Formularium Nasional.
"Kenapa industri farmasi sangat sedikit ingin memproduksi produk herbal yang tingkatnya Fitofarmaka, karena tahapannya memerlukan biaya besar sekali. Investasi yang begitu besar, tapi penggunaannya belum masuk JKN. Jadi kami berharap adanya dorongan bagaimana pemerintah memasukkan fitofarmaka dalam Fornas," ungkap Elfiano.
Saat ini para dokter belum bisa meresepkan OMAI Fitofarmaka lantaran belum masuk ke Formularium Nasional. Padahal OMAI Fitofarmaka sudah teruji klinis dan memiliki khasiat setara obat dengan efek samping yang minim.
Advertisement