Liputan6.com, Jakarta - Nama Oki Setiana Dewi sedang jadi pembicaraan karena isi ceramahnya menuai banyak kritik. Pasalnya, isi ceramah tersebut dinilai menormalkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Video ceramah tersebut sebenarnya sudah diunggah di media sosial pada Maret 2019, namun baru viral beberapa hari lalu. Dalam video itu, Oki menuturkan kisah perempuan yang menutup-nutupi kondisi rumah tangganya, meski terjadi kekerasan.
Video tersebut langsung mendapat banyak kritikan dari warganet. Kebanyakan dari warganet yang mencuit tentang KDRT mengomentari tentang isi ceramah dari pemain film Ketika Cinta Bertasbih itu.
Baca Juga
Advertisement
Banyak yang menyayangkan Oki memberikan contoh KDRT sebagai aib suami. Banyak juga yang mengatakan, KDRT bukanlah sebuah aib namun merupakan sebuah tindakan kriminal. Beberapa juga meminta agar kekerasan semacam itu tidak disebut hal yang normal.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan KDRT? Dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan, KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal.
Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. Contohnya, tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.
Kekerasan ini juga bisa muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ranah Personal
Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender yang sangat kuat di dalam masyarakat.
Sementara, bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9). Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada 2020, mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati urutan pertama kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah 75,4 Persen dibandingkan dengan ranah lainnya.
Sedangkan, bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada, sebanyak 59 persen atau 6.555 laporan adalah kekerasan terhadap istri.
Kekerasan terhadap anak perempuan juga meningkat 13 persen, dan juga kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Dalam kasus KDRT tersebut di dalamnya ada kekerasan seksual (marital rape dan inses). Kasus kekerasan seksual di ranah personal yang paling tinggi adalah inses dengan jumlah 822 kasus.
Advertisement
Layanan Pengaduan
Lalu, bagaimana korban bisa mengadukan kasus yang dialaminya?
Layanan bagi pengaduan dan penanganan korban KDRT dapat ditujukan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia. P2TP2A ini berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Informasi kontak pengaduan dan layanan bagi korban terdapat di laman https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/58. Pengaturan sanksi kepada pelaku KDRT telah diatur di dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Di dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53 disebuutkan sanksi yang meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat, diancam hukuman maksimal 10 tahun penjara. Sedangkan, yang menyebabkan korban meninggal dunia hukuman maksimal 15 tahun penjara, dan termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan diancam hukuman maksimal 20 tahun.
Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
Advertisement