4 Ahli Nyatakan Penipuan Investasi Rp84 Miliar Keluarga Salim Ranah Perdata

Empat ahli yang dihadirkan dalam persidangan penipuan invetasi Rp84 miliar dengan terdakwa keluarga Salim dari Fikasa Grup tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum.

oleh Syukur diperbarui 07 Feb 2022, 02:00 WIB
Persidangan penipuan invetasi Rp84 miliar yang melibatkan keluarga Salim dari Fikasa Grup di Pengadilan Negeri Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Dugaan penipuan investasi Fikasa Grup di Pengadilan Negeri Pekanbaru terus bergulir. Silang pendapat menggunakan dalil hukum terus terjadi, termasuk yang baru ini antara Jaksa Penuntut Umum dengan empat ahli yang dihadirkan ke persidangan.

Keempat ahli yang dihadirkan para terdakwa menyatakan seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak tepat dan tidak terpenuhi. Para ahli menyebut kasus yang melibatkan anggota keluarga Salim ini merupakan wilayah privat atau perdata, bukan pidana apalagi tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Keempat ahli yang hadir tersebut yakni Dr Suherman, mantan Ketua PPATK Dr Yunus Husein, Dr Zukarnaen Sitompul dan Dr M Taufik. Keempatnya terkualifikasi sebagai ahli hukum perdata, ahli pencucian uang, ahli pasar modal dan surat berharga serta ahli hukum pidana.

Dr Suherman menjelaskan, promissory note (PN) adalah surat kesanggupan utang yang terikat pada perjanjian keperdataan. Sehingga, penyelesaian tiap persoalan yang terjadi, seharusnya ditempuh lewat upaya hukum perdata.

Apalagi, kata Suherman, para pemegang PN telah menerima manfaat dari PN yakni bunga yang diperoleh secara rutin selama beberapa tahun. Selain itu, menurut Suherman segala yang terjadi dalam kaitan PN dan perjanjian adalah merupakan risiko bisnis.

"Jadi, dalam hal kasus ini masuk pada wilayah keperdataan. Itu pendapat ahli," tegas Suherman kepada majelis hakim yang diketuai Dahlan SH, Jum'at petang, 5 Februari 2022.

Sementara, ahli Dr Yunus Husein mengemukakan, empat dakwaan JPU kepada para terdakwa Salim Bersaudara tidak tepat dan tidak memenuhi unsur penipuan investasi. Hal tersebut berdasarkan analisa hukum dan kasus serupa sebagai rujukan pendapatnya.

Menurut Yunus dan Dr Zulkarnaen Sitompul, surat PN (surat sanggup bayar) bukanlah aktivitas penyimpanan dana dan bukan pula simpanan sebagaimana dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian penyimpanan dana. PN berbentuk surat sanggup yang diatur dalam pasal 174 KUHDagang.

Yunus menyatakan, hubungan hukum antara penerbit dan penerima PN (surat sanggup) berbeda dengan hubungan hukum perjanjian penyimpanan dana di pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan.

"Kalau perjanjian penyimpanan dana seperti di bank ada jaminan ketersediaan dan keamanan simpanan. Sementara, ekspektasi di PN selain bunga adalah juga risiko pemegang PN gagal bayar," jelas Yunus.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang

Saksikan Video Pilihan Ini:


Tidak Beriktikad Buruk

Menurut Yunus, surat PN yang diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) bukanlah simpanan dana seperti di bank.

"Jadi penerbitan surat PN oleh PT WBN dan PT TGP tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan sehingga unsur 'dalam bentuk simpanan' sebagaimana dalam pasal 46 ayat 1 tidak terpenuhi," terang Yunus.

Sementara M Taufik mengulas soal pasal 372 dan pasal 378 KUHPidana yang digunakan JPU. Menurutnya, permasalahan hukum yang timbul dalam hubungan hukum perjanjian tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pasal 372 dan pasal 378 KUHP.

Ia mengakui penerapan pasal 372 dan 378 KUHPidana kerap beririsan dengan hukum perdata-perjanjian. Yunus mengutip surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2012 yang menurutnya dalam poin 4 disebutkan 'jika suatu perkara pidana yang di dalamnya mengandung ikatan perjanjian, penyelesaiannya harus masuk ke ranah perdata'.

Menurut Yunus, dirinya tidak menemukan adanya itikad buruk dari PT WBN dan PT TGP dalam penerbitan PN karena mengatur secaratentang hak dan kewajiban para pihak serta mekanisme teknis isi perjanjian.

"Kedua perusahaan juga telah menjalankan kewajibannya membayar bunga keuntungan," jelasnya.

Selain itu, jelas Yunus, PT WBN dan PT TGP juga telah tunduk pada proses hukum menyelesaikan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yakni lewat putusan PKPU.

"PT WBN dan PT TGP tidak berupaya untuk menghindar dari kewajibannya kepada para kreditur, jadi tidak ada itikad buruk dari perusahaan dalam penerbitan PN, termasuk juga dalam pelaksanaan PN dan penyelesaian permasalahan," jelas Yunus.

 


Tidak Penuhi Unsur

Yunus juga menyebut tidak ada unsur melawan hukum dan kesengajaan dalam penerbitan PN maupun dalam pelaksanaan perjanjian yang timbul dari penerbitan PN tersebut.

"Jadi unsur kesengajaan dalam pasal 372 dan 378 KUHPidana tidak terpenuhi dan tidak relevan," jelas Yunus.

Terakhir, Yunus menilai pengenaan pasal 2,3,4 dan 5 Undang-undang TPPU dalam kasus ini tidaklah tepat. Menurutnya, pasal 2 Undang-undang TPPU tidak memuat ketentuan pidana, namun mengatur tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.

Sementara, penyidik mengonstruksikan tindak pidana asalnya (predicate offence) dari tindak pidana perbankan sebagaimana dalam dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Perbankan dan pasal 372 serta pasal 378 KUHPidana yang menurut Yunus itu tidak dapat ditemukan.

Menurutnya, dalam kasus Fikasa Grup ini tidak ditemukan tindak pidana sebagai predicate crime. Sehingga tidak ada harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana atau tidak terjadi tindak pidana pencucian uang.

"No crime, no money laundering," tegas Yunus.


Dakwaan JPU

Sementara itu, JPU sejak kasus ini bergulir tetap pada dakwaan. Jaksa terus membuktikan dugaan penipuan dalam kasus investasi ini.

Sebelumnya, JPU menyebut penipuan investasi ini terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 sampai dengan 25 Maret 2020. Ada 10 nasabah yang menjadi korban para terdakwa dengan total kerugian Rp84.916.000.000.

Dana nasabah yang seharusnya digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP itu, digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group.

Di antaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan. Dimana, usaha tersebut merupakan badan hukum yang berbeda tanpa dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemilik modal atau nasabah pemegang Promissory Note.

Menurut JPU di dakwaan, hasil keuntungan dari usaha perhotelan dan air minum tersebut masuk ke perusahaan-perusahaan group Fikasa, juga masuk ke rekening pribadi terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim dan Maryani.

Hal ini, menurut dakwaan JPU, dapat dilihat dari aliran uang keluar dan masuk atas nama PT WBN Bulan Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.

Dalam perjalanannya, 10 nasabah tadi tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga. Kemudian mereka memutuskan tidak melanjutkan invetasi di kedua perusahaan tersebut dan meminta kembali pokok investasinya kepada PT WBN dan PT TGP pada awal tahun 2020.

Para terdakwa pada 26 Februari 2020 melalui surat pernyataan berjanji mengembalikan uang korban pada 25 Maret 2020. Hingga kini uang para nasabah belum dikembalikan oleh para terdakwa dengan kerugian total Rp84.916.000.000.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya