Liputan6.com, Jakarta Sejak masuknya varian Omicron ke Indonesia, penggunaan layanan telemedisin untuk berkonsultasi dengan dokter telah menjadi salah satu fokus pemerintah yang baru.
Berdasarkan data di luar negeri, yang lebih dulu hadapi gelombang Omicron, orang yang terpapar bakal 2-3 kali lipat lebih banyak. Namun, cenderung memiliki gejala yang lebih ringan sehingga para pasien yang terinfeksi COVID-19 bisa melakukan isolasi mandiri (isoman).
Advertisement
Pasien pun bisa berkonsultasi melalui telemedisin dan mendapatkan akses terhadap obat-obatan secara gratis di sana.
Namun, beberapa pasien mengatakan bahwa obat yang dikirimkan usai berkonsultasi telemedisin memakan waktu hingga dua atau tiga hari.
Terlebih, obat yang sampai juga tak semuanya sesuai dengan resep yang diberikan usai berkonsultasi dengan dokter di layanan telemedisin.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengungkapkan bahwa layanan telemedisin memang memiliki plus minusnya tersendiri.
Menurut Hermawan, nilai plus dari penggunaan telemedisin berada pada kemudahan terhadap akses informasi. Namun tantangan lainnya berada dalam sektor telefarmasi, yang mana adalah pihak apotek yang menyiapkan obat-obatan.
"Jadi ada dua platform sebenarnya. Pertama telemedisin, telemedisin itu erat kaitannya dengan konsultasi. Sementara untuk obat-obatan, farmasi ini adalah platform yang berbeda dalam arti tidak semua apotek atau instalasi farmasi itu siap untuk distribusi obat-obatannya," ujar Hermawan saat dihubungi Health Liputan6.com, Senin (7/2/2022).
"Nah disinilah yang dibutuhkan penguatan itu, karena ada dua hal berbeda. Telemedisin lebih kepala assesment klinis, tapi ada telefarmasi yang kita sebut sebagai complement-nya yang harus diintegralkan kesiapsiagaan apotek dan juga depo obat di berbagai wilayah," tambahnya.
Hermawan mengungkapkan, kesiapan antara apotek dan telemedisin harus sama terjangkau dan meratanya. Namun, ia pun mengakui bahwa sinkronisasi tersebut tidaklah mudah.
"Contoh kan banyak terapi-terapi yang sifatnya pengobatan, sementara obat-obat yang digunakan dan yang direkomendasikan dokter di telemedisin boleh jadi berbeda dengan yang tersedia di apotek-apotek," kata Hermawan.
"Ini kan sinkronisasinya tidak gampang, membutuhkan penguatan pada kolaborasi diantara stakeholders. Memang itu yang menjadi sorotan dan catatan kita," tambahnya.
Pemahaman soal obat COVID-19
Terlebih, menurut Hermawan, pemahaman masyarakat terhadap obat COVID-19 juga seringkali hanya terpusat pada obat-obatan COVID-19..
"Memang di lapangan itu masih trial and error ya. Artinya masih ada kendala. Di satu sisi paradigma orang-orang yang isoter (isolasi terpadu) bahkan isoman, itu kan orang-orang yang tanpa gejala atau gejala ringan,"
"Seharusnya untuk mereka ini tidak terlalu diperlukan terapi obat-obatan, yang diperlukan itu terapi untuk imuno peningkatan imunitas. Artinya ada suplemen, ada multivitamin, yang berguna untuk penguatan daya tahan," ujar Hermawan.
Sehingga diasumsikan bahwa pasien yang tengah menjalankan isoter dan isoman lebih difokuskan untuk peningkatan daya tahan tubuh.
"Nah yang menjadi rumit itu kalau telemedisin yang dalam prosesnya itu merekomendasikan obat, yang kita pahami sebagai obat COVID-19 itu terapi penggunaan Favipiravir, Remdesivir, dan lain-lain yang memang itu susah untuk disamaratakan ketersediaannya di masing-masing apotek," kata Hermawan.
"Tentu saja platformnya terpisah dengan telemedisin, yang diberikan resep oleh dokter juga berbeda sehingga tidak terlalu ready di lapangan," tambahnya.
Advertisement