Warok, Kesatria Sakti dari Ponorogo yang Pantang Main Perempuan

Di setiap pertunjukan reog Ponorogo, sosok warok menjadi ikon.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Feb 2022, 23:00 WIB
Penari Reog Ponorogo beraksi saat pelaksanaan Car Free Day di kawasan Jalan Jenderal Surdirman, Jakarta, Minggu (13/3/2016). Penampilan Reog Ponorogo ini sosialisasi menuju pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Ponorogo - Ponorogo adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur terkenal dengan tarian reog. Di setiap pertunjukan reog Ponorogo, sosok warok menjadi ikon. Warok atau warokan yang sering kita lihat pada setiap pertunjukkan reog.

Warok biasanya berpenampilan sangar, kumis, dan janggut brewok, pakaiannya serba hitam, baju potong gulon, celana panjang hitam lebar memakai kain bebet (batik latar ireng) tutup kepala udeng dengan mendolan, dan ini yang menjadi ciri khas usus-usus (tali kolor) warna putih panjang dan besar menjulur sampai kaki.

Kisah warok dimulai sekitar abad ke-15, kala itu kademangan Wengker yang kini menjadi Kota Ponorogo masuk dalam kekuasaan Majapahit. Penguasa agung dari Majapahit dipimpin Prabu Brawijaya V.

Wengker dipimpin oleh seorang demang yang sakti mandraguna bernama Ki Ageng Suryongalam atau Ki Ageng Kutu karena tinggal di desa Kutu Jetis. Sebagai negeri bawahan, Wengker sangat makmur dan harusnya selalu dapat membayar pajak atau upeti kepada Majapahit.

Namun, Ki Demang Ageng Kutu terkenal pembelot dan sudah beberapa tahun tidak mau menghadap untuk kirim upeti. Sang raja geram dan menyuruh putranya bernama Pangeran Lembu Kanigoro untuk menemui Ki Demang Ageng Kutu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Mampir Demak

Pangeran Lembuh Kanigoro berangkat ke Wengker. Di perjalanan, ia mampir ke rumah kakaknya, Raden Patah, Sultan Demak.

Pangeran Lembu Kanigoro sempat belajar tentang berbagai ilmu termasuk taktik perang dan agama Islam. Bahkan, ia berganti memeluk Islam dan berganti nama menjadi Bethoro Katong atau Raden Katong.

Raden Katongmeneruskan perjalanannya ke Wengker ditemani abdi bernama Selo Aji. Setelah tiba di sana, ia bertemu dengan seorang muslim taat yang bernama Ki Ageng Mirah.

Raden Katong menyusun strategi untuk bertemu dengan Ki Demang Ageng Kutu secara baik-baik. Sayangnya, Ki Ageng Kutu marah dam melawan utusan.

Terjadilah pertempuran di antara keduanya. Radeng Katong kalah dan berpura-pura mendukung gerakan Ki Ageng Kutu.

Bahkan, Raden Katong menjadi menantu Ki Ageng Kutu setelah menikahi putri pertama penguasa Wengker yang bernama Niken Sulastri. Setelah menjadi menantu, Raden Katong mengetahui kelemahan Ki Demang Ageng Kutu yang hanya bisa dibunuh dengan pusaka sakti Kiai Puspitorawe.

 


Pantang Main Perempuan

Raden Katong akhirnya berhasil membunuh mertuanya itu. Seluruh pengikut Ki Demang Ageng Kutu pun menjadi pengikut Raden Katong.

Para pengikut Ki Demang Ageng Kutu ini juga dikenal kesaktiannya. Semasa hidup Ki Demang Ageng Kutu memiliki padepokan yang mengajarkan ilmu kanuragan dan kebatinan dengan menghindari perempuan untuk menjaga kesaktian.

Raden Katong yang akhirnya menjadi bupati pertama Ponorogo ini menjadikan pengikut Ki Demang Ageng sebagai manggala sakti atau kesatria untuk membela negeri. Manggala sakti ini yang dalam perjalanannya disebut warok.

Masyarakat sangat mengidolakan sosok warok. Untuk melestarikan budaya muncul tradisi warokan, yang berupa tiruan penampilan warok.

(Tifani)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya