Liputan6.com, Jakarta - Layanan telemedicine semakin marak digunakan di Indonesia. Berawal dari memuncaknya varian Delta pada 2021, hingga kini dijadikan salah satu layanan rujukan di tengah merebaknya Varian Omicron.
Sayangnya, hingga kini layanan telemedicine untuk pasien terinfeksi COVID-19 belum tersedia secara merata di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Advertisement
Padahal, laju penyebaran kasus COVID-19 ditambah dengan masuknya Omicron sudah terjadi pada banyak daerah di Indonesia.
Sebelumnya telemedicine untuk pasien COVID-19 hanya bisa digunakan untuk wilayah Jabodetabek. Hal tersebut pun dikonfirmasi Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin.
"Layanan telemedicine sudah kita lakukan di Jakarta dan sudah bisa melayani 150 ribu secara kumulatif yang terkena positif. Sudah mengirimkan juga sekitar 38 ribu obat-obatan ke mereka yang sedang teridentifikasi positif," ujar Budi dalam konferensi pers pada Senin, 7 Februari 2022.
Dalam kesempatan tersebut, Budi pun mengungkapkan bahwa layanan telemedicine baru akan diperluas ke beberapa daerah di luar Jabodetabek per minggu ini.
"Mulai minggu ini akan kita perluas ke Bandung Raya raya, Semarang raya, Solo raya, Yogyakarta, Malang raya, dan Denpasar," kata Budi.
Masih ada kendala
Meski sudah melayani sekitar 150 ribu pasien dan mengirimkan 38 ribu obat-obatan, tak dapat dipungkiri kendala pun masih menghampiri.
Beberapa pasien mengaku bahwa pengiriman obat yang dilakukan usai melakukan konsultasi cukup memakan waktu, yakni hingga dua sampai tiga harian.
Menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, hal tersebut disebabkan karena belum ada sinkronisasi yang sempurna antar telemedicine dan telefarmasi.
"Jadi ada dua platform sebenarnya. Pertama telemedicine, telemedicine itu erat kaitannya dengan konsultasi. Sementara untuk obat-obatan, farmasi ini adalah platform yang berbeda dalam arti tidak semua apotek atau instalasi farmasi itu siap untuk distribusi obat-obatannya," ujar Hermawan pada Health Liputan6.com.
Hermawan pun mengakui bahwa untuk menyelaraskan segala pihak dalam hal ini tidaklah mudah. Mengingat telemedisin dan telefarmasi penyedia obat-obatan merupakan dua pihak yang berbeda.
"Ini kan sinkronisasinya tidak gampang, membutuhkan penguatan pada kolaborasi diantara stakeholders. Memang itu yang menjadi sorotan dan catatan kita," kata Hermawan.
Advertisement