Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak menampik jika kegiatan transisi energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan biaya yang besar bagi negara berkembang maupun miskin.
Jokowi pun meminta agar upaya peningkatan penggunaan energi ramah lingkungan tersebut tidak membebani masyarakat di situasi ekonomi sulit akibat pandemi Covid-19.
Advertisement
"Transisi energi memerlukan biaya yang sangat besar, tentu banyak negara miskin dan berkembang tidak mampu atau tidak mau membebani masyarakat apalagi di pandemi ini. Beban (masyarakat) sudah semakin berat," kata Jokowi dalam paparannya yang dibacakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam webinar Peluncuran Transisi Energi G20 di Jakarta, Kamis (10/2).
Selain itu, Jokowi meminta, transisi energi ini juga tidak boleh menciptakan dampak besar terhadap kestabilan sosial dan ekonomi masyarakat. Menyusul, potensi besar terjadinya pengangguran akibat peralihan penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan.
"Perubahan paradigma pasti akan berdampak pada perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis dan lain sebagainya," jelasnya.
3 Isu Krusial Dunia
Oleh karena itu, Indonesia sebagai Presidensi KTT G20 2022 berinisiatif untuk mengangkat tiga isu krusial dunia yang relevan saat ini. Antara lain pembahasan transisi energi ramah lingkungan disamping isu kesehatan global dan percepatan ekonomi digital.
"Jadi kita ingin berkeadilan, yang bebannya berat harus di bantu. Yang siap silahkan jalan sendiri, selain membantu yang belum mampu," ungkapnya.
Selain itu, Jokowi juga mendorong adanya dukungan internasional bagi negara-negara berkembang dan miskin dalam upaya percepatan transisi energi. Antara lain dengan memberikan dukungan pendanaan melalui kegiatan investasi.
"Di sini kita perlu peran investasi dan kontribusi sektor swasta, filantropi dan bentuk pendanaan inovatif," tutupnya.
Advertisement