Liputan6.com, Makassar - Tak bisa dimungkiri, ketika menyebut Poso, salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Tengah, stigma negatif akan langsung muncul. Betapa tidak, kabupaten yang berada di Teluk Tomoni itu memang selalu identik dengan kekerasan hingga aksi separatis teroris yang terjadi di sana.
Stigma itu muncul sejak kerusuhan berbalut isu agama muncul di poso tahun 1998 yang kemudian disusul dengan aksi separatis teroris yang terjadi di wilayah pegunungan poso yang dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang digawangi oleh Santoso dan anak buahnya.
Baca Juga
Advertisement
Seorang penulis bernama Khoirul Anam pun tergerak hatinya untuk mencoba menghapus stigma negatif tersebut. Ia menulis sebuah buku dengan judul 'Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso'.
Haji Adnan, begitu ia akrab disapa adalah saksi hidup upaya-upaya mendamaikan konflik mengerikan antar agama yang terjadi di Kabupaten Poso. Ia menjadi juru komunikasi dari kubu muslim yang kala itu bersiteru hebat dengan warga nasrani.
"Yang membuat saya salut dengan beliau adalah kemampuannya dalam berkomunikasi, hingga akhrinya Poso bisa damai seperti sekarang ini," kata Khoirul Anam di Makassar, beberapa waktu lalu.
Selama penulisan buku 'Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso' itu, Khoirul Anam mengaku mendapat banyak rintangan. Terutama terkait emosional sang juru damai, Haji Adnan, yang tak jarang meneteskan air mata ketika bercerita bagaimana dirinya dulu berjuang demi menghapuskan konfil komunal di Poso.
"Sering sekali, kadang Haji Adnan ini kalau lagi saya wawancara dan minta dia menceritakan kejadian-kejadian masa silam itu dia samapai menangis," ucap Khoirul Anam.
Khoirul Anam menjelaskan bahwa Haji Adanan ini bahkan dulunya tak jarang menjadi incaran aparat, lantaran dianggap sebagai orang yang melindungi para pelaku bentrokan. Khoirul Anam pun tak serta merta percaya dengan hak tersebut lantaran nama Haji Adnan tak pernah alpa di berbagai perjanjian perdamaian yang ada di Poso.
"Masih banyak cerita lain lagi tentang upaya-upaya Haji Adnan yang rela bertaruh nyawa demi damainya Poso hingga akhirnya Poso kini dijuluki Kota Harmoni," ucapnya.
Kerusuhan Berbalut Isu Agama Poso 1998
Sementara itu, Ustaz Adnan buku tentang dirinya itu sepenuhnya bercerita tentang bagaiman ia dulu berupaya mendamaikan konflik kecil antar kelompok yang kemudian dipolitisasi menjadi konflik agama di Poso pada tahun 1998.
Dia menceritkan kerusuhan itu terjadi selama beberapa tahun lamanya, dan tak sedikiti memakan korban jiwa. Tak jarang pula dirinya mendapat ancaman untuk dibunuh dari satu kelompok yang ada di Poso kala itu.
"Tak jarang saya berusaha mendamaikan. Tapi siangnya damai, malamnya saling serang hingga saling bunuh lagi," ucap Adnan dalam sebuah diskusi.
Secara garis besar, kerusuhan di Poso terjadi dalam beberapa insiden. Pertama berlangsung pada bulan Desember 1998, yang mana saat itu terjadi serangkaian bentrokan antar pemuda Islam dan Kristen. Penyebanya adalah persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan para pendatang seperti pedagang-pedagang Bugis dan transmigran dari Jawa yang memeluk Islam.
Ketidak stabilan politik dan ekonomi lantaran jatuhnya Orde Baru saat itu turut memperparah konflik tersebut. Tak hanya itu, lemahnya penegakan hukum waktu itu menjadi salah satu alasan konflik tersebut tak kunjung mereda.
Usai kerusuhan yang terjadi di akhir 1998, konflik kemuduan berlanjut pada bulan medio tahun 2000. Bentrokan yang dibalut isu agama itu meluas hingga memakan sangat banyak korban jiwa.
Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua belah pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan. Meski dampaknya tidak begitu terlihat, kesepakatan tersebut sedikitnya mampu mengurangi kekerasan frontal secara bertahap, dan angka kriminal mulai menurun dalam kurun waktu beberapa tahun sesudah kerusuhan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement