Pernah Jadi Korban, Petenis Aldila Sutjiadi Kampanyekan Tolak Perundungan dan Kekerasan Online

Perundungan dan kekerasan online masih dianggap hal normal dalam relasi di antara pengguna media sosial, padahal dampaknya membahayakan kesehatan mental.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 10 Feb 2022, 12:18 WIB
Petenis putri Indonesia Aldila Sutjiati mengampanyekan tolak kekerasan online. (dok. Bullyid)

Liputan6.com, Jakarta - Atlet mana yang tak sedih bila pertandingan yang mereka mainkan berakhir dengan kekalahan. Hal itu pula yang dirasakan petenis Indonesia, Aldila Sutjiadi.

Namun, kekecewaannya makin menumpuk dengan tambahan perundungan online. Mereka yang tak terima dengan kekalahan Aldila mengirimkan pesan berisi ujaran kebencian dari orang-orang yang tak suka dengan hasil pertandingan tersebut. Jumlah pesan yang dikirimkan via media sosial pribadinya itu bahkan mencapai ratusan.

"Saya masih ingat pertama kali mendapatkan pesan negatif seperti menghina, melecehkan, dan mengancam saat tanding di Singapura. Itu saya kalah tipis dengan unggulan dan sudah sangat lelah setelah tanding sekitar 2--3 jam. Begitu lihat pesan-pesan negatif yang masuk ke gadget saya, mental langsung drop," ujar Aldila Sutjiadi saat konferensi pers virtual, Selasa, 8 Februari 2022.

Bully yang ia dapatkan di dunia maya berpengaruh pada kinerjanya di lapangan. Kata-kata yang menyakitkan itu berdampak pada kesehatan mentalnya. Ia mengaku kehilangan fokus dan kepercayaan diri saat bertanding. "Awalnya belum ada yang tegas dan jadi solusi untuk mengatasi masalah ini," kata dia.

Perlahan-lahan, ia mencari cara agar bisa keluar dari tekanan mental tersebut. Salah satunya dengan berbicara dengan sesama rekan dan pelatihnya. Dari obrolan itu, ia mendapati bahwa ia tak sendirian. "Dari itu kami saling support dan tidak pernah merasa sendiri sehingga kami bisa keluar bersama-sama," imbuhnya.

Ia mengaku kini bisa lebih mengabaikan pesan negatif yang datang kepadanya dan tetap fokus pada permainan. Meski begitu, petenis putri nomor 1 Indonesia yang akan bertanding di Mandiri Tennis Open pada Februari 2022 dan di AS pada Maret 2022 itu juga tak ingin mengabaikan sepenuhnya masalah online abuse tersebut.

"Berbicara dengan atlet lain, saya menyadari bahwa isu ini lebih luas daripada yang saya perkirakan, jadi saya memutuskan sudah waktunya untuk melakukan sesuatu tentang kekerasan online ini," kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bersuara

Petenis putri Indonesia Aldila Sutjiati mengampanyekan tolak kekerasan online. (dok. Bullyid)

Ia menyebut siapa saja bisa menjadi korban dari pelecehan online. Namun, ia menilai perempuan masih menjadi korban paling banyak. Ia pun ingin berbicara mewakili para korban dengan meluncurkan kampanye #SayNoToOnlineAbuse. Kampanye tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang efek buruk dari perundungan dan pelecehan online yang terjadi tidak hanya pada atlet dan selebriti lainnya, tetapi dapat terjadi kepada siapa saja di media sosial.

"Saya tergerak untuk memulai #SayNoToOnlineAbuse karena saya sendiri mengalami pelecehan ini selama bertahun-tahun. Menggunakan platform saya sebagai seorang atlet, saya ingin kampanye ini menarik perhatian tidak hanya pada apa yang terjadi pada kami tetapi juga kepada masyarakat luas," dia menerangkan.

Peluncuran kampanye ini bertepatan dengan perayaan Internet Safer Day yang diperingati setiap 8 Februari. Aldila berharap kampanye #SayNoToOnlineAbuse dapat berkontribusi pada penggunaan internet yang lebih aman bagi semua orang.

Pasalnya, berdasarkan hasil riset, dari 171 juta pengguna internet di Indonesia, 49 persen orang telah dilecehkan secara daring. Dari jumlah tersebut, 78 persen korban memilih untuk tidak melaporkan pelecehan tersebut, karena takut atau malu. Aldila menggandeng Bullyid Indonesia, yakni organisasi sosial untuk menggaungkan lebih keras perihal isu tersebut.


Layanan Konsultasi

SMA BPI 1 Bandung menggelar pembelajaran tatap muka di mana pihak sekolah mempersilakan siswa-siswinya mengikuti pelajaran di kelas. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Agita Pasaribu, pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Bullyid Indonesia menyebut masalah kekerasan online di media sosial, khususnya Instagram, telah meningkat dalam lima tahun terakhir.  "Sayangnya, masyarakat masih mengabaikan isu tersebut. Banyak korban yang bungkam dan masyarakat melihat pelecehan dan kekerasan online sebagai bagian dari normal apabila ingin berada di platform media sosial," kata dia.

Ia pun menyambut baik ajakan Aldila untuk bermitra dalam meningkatkan kesadaran tentang dampak kekerasan online. Aldila selanjutnya akan berperan sebagai juru bicara menyoroti masalah ini dan mendorong orang lain yang menderita dalam diam untuk angkat bicara. Sementara, organisasinya akan menjadi ruang aman dan tempat yang bisa korban datangi untuk meminta bantuan dan dukungan.

Ia mengatakan pihaknya menyediakan konsultasi dan hotline bantuan yang terbuka untuk semua orang. Tersedia layanan konsultasi hukum dan psikologis setiap hari mulai pukul 09.00--20.00 WIB dengan konselor berlisensi.

"Meningkatkan kesadaran saja tidak cukup. Kita perlu memberikan dukungan nyata kepada mereka yang membutuhkan," ujar Aldila. (Natalia Adinda)


Mengenal Siapa dan Peran dalam Lingkaran Bullying

Infografis - Mengenal siapa dan peran dalam lingkaran bullying. (Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya