Liputan6.com, Jateng Konflik di Desa Wadas yang terletak di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah kini menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan.
Permasalahan di Desa Wadas tersebut dipicu oleh penolakan dari beberapa warga setempat terkait pembangunan tambang batu andesit.
Advertisement
Beredarnya beberapa potret dan video di media sosial, bahkan sempat menjadi trending topic dalam tagar Twitter, membuat publik bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di Wadas.
Greenpeace Indonesia, organisasi independen yang bergerak di bidang lingkungan turut mengupas kisah tentang Wadas dalam sebuah tulisan bertajuk “Desa Wadas: Tanah Surga yang Terancam Tambang”.
Desa Wadas Ditetapkan Sebagai Kawasan Perkebunan
Dalam tulisannya Greenpeace menuliskan sebuah Peraturan Daerah Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Perda tersebut menetapkan Desa Wadas sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk perkebunan. Bukan tanpa sebab, hal tersebut dikarenakan Wadas memiliki kondisi tanah yang subur di mana hampir seluruh masyarakat berprofesi sebagai petani.
Advertisement
Disebut Sebagai Tanah Surga
Karena kekayaan hasil bumi Desa Wadas yang melimpah, sebagian masyarakat yang bekerja sebagai petani menyebut Wadas sebagai tanah surga. Hasil alam Wadas dianggap dapat memenuhi kebutuhan serta menyejahterahkan masyarakat setempat.
Terancam karena Pertambangan Batu Andesit
Berdasakan SK Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada tahun 2018, Desa Wadas kemudian ditetapkan sebagai lokasi quarry atau penambangan batu, untuk pembangunan Waduk Bener. Berdasarkan yang disampaikan Greenpeace Indonesia, hal tersebut tidak sesuai dengan ketetapan RTRW sebelumnya. Karena dapat menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat desa.
Advertisement
Warga Wadas Tidak Ingin Hidup dalam Kondisi Lingkungan yang Rusak
Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa warga Wadas tak ingin hidup dalam kondisi lingkungan yang rusak. Penambangan terbuka yang rencananya berjalan selama 30 bulan tersebut akan dilakukan dengan cara dibor, dikeruk dan diledakkan menggunakan 5.300 tin dinamit, dengan kedalaman 40 meter. Aktivitas tersebut tentunya akan merusak tanah dan menyebabkan warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani terancam.
Greenpeace juga menuliskan, penggunaan kekerasan dari aparat terhadap warga adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia.