Liputan6.com, Jakarta - Indonesia bersiap menghadapi penambahan kasus gelombang ketiga Covid-19. Puncak gelombang ketiga itu diprediksi akan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2022. Setidaknya, itu jika berkaca pada penyebaran dan penambahan kasus Covid-19 varian Omicron di setiap provinsi yang terus bertambah.
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengaku tak heran jika penambahan kasus Covid-19 akibat varian Omicron di Indonesia dapat mencapai 46.843 kasus pada Rabu (9/2/2022). Sebab penularan yang cepat oleh Omicron berpotensi besar menginfeksi banyak orang atau empat kali dari varian Delta. Kecepatan penularannya juga dua kali lipat.
Advertisement
Menurut Dicky, hanya dalam 10 pekan sejak temuan pertama Omicron di Afrika Selatan sebanyak 90 juta kasus yang terinfeksi. Bahkan jumlah tersebut mengalahkan kasus selama setahun pertama pandemi Covid-19. Sedangkan untuk Indonesia, jika berpatokan dengan gelombang sebelumnya penambahan kasus akibat Omicron dapat mencapai 100ribu orang per hari.
"Karena setidaknya kalau bicara dari konteks Indonesia dengan belajar dari kondisi waktu Delta setidaknya kita saat ini punya gap atau jeda sekitar 10 kali dari antara yang ditemukan oleh pemerintah dengan yang ada di masyarakat," kata Dicky kepada Liputan6.com.
Dicky mengaku telah memprediksi puncak gelombang tiga di Indonesia sejak November 2021. Hal tersebut telah berulang kali disampaikannya kepada pemerintah. Meskipun diasumsikan lebih ringan, Omicron tidak dapat dianggap remeh begitu saja. Varian itu berpotensi meningkatkan kematian pada kelompok lansia dan pengidap penyakit penyerta atau komorbid yang tidak terkontrol.
Strategi yang dilakukan pemerintah saat ini, menurut Dicky sudah relatif efektif. Misalnya peningkatan level 3 Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah kabupaten/kota ataupun wilayah aglomerasi. Dengan adanya PPKM level 3 secara otomatis terdapat sejumlah pembatasan yang harus dipenuhi oleh masyarakat ataupun fasilitas publik.
Cakupan Vaksinasi
Kendati begitu cakupan vaksinasi dan booster menjadi salah satu sorotan. Cakupan vaksinasi dosis kedua untuk kelompok lansia di Indonesia masih di bawah 60 persen. Dicky pun meminta cakupan tersebut dapat segera dipenuhi. Saat puncak gelombang tiga lansia menjadi salah satu kelompok yang berkontribusi besar terhadap perawatan di RS.
Lalu, Dicky juga menyoroti mengenai kemampuan testing dan tracing. Keduanya merupakan patokan dalam keberhasilan pelaksanaan isolasi atau karantina. "Orang menempati isolasi karantina karena dia terdeteksi sebagai kasus kontak kan. Nah kalau isolasi karantina efektif maka kita bisa memutus sebagian besar potensi penularan," ucap dia.
Selain itu kedisiplinan pelaksanaan protokol kesehatan juga diperlukan. Sebab gelombang Covid-19 lanjutan diprediksi masih akan bermunculan. Dicky memprediksi gelombang empat paling cepat muncul sekitar lima bulan setelah penurunan kasus di gelombang ketiga. Namun gelombang lanjutan tak akan separah sebelumnya.
"Artinya tetap terjadi tapi jumlah yang terinfeksi juga relatif lebih kecil, kemudian bertambah beban ke faskes dan juga kematian jadi jauh sangat kecil. Sehingga melihat aktivitas mudik dan lebaran ini bisa bisa terlaksana jauh lebih kecil risikonya dibanding tahun lalu, asal kita semua komitmennya dalam 3T, 5M dan vaksinasi," Dicky menjelaskan.
Pengawasan PeduliLindungi Tak Maksimal
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menyebut saat ini hal yang terpenting untuk mengantisipasi puncak gelombang ketiga yaitu dalam penggunaan ruang perawatan RS. Yakni ruang yang ada harus difokuskan untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat. Sebab tingkat kematian atau mortalitas akibat Covid-19 sangat penting.
"Masuk RS ya karena mampu membayar itu yang membuat rusak. Itu nakes-nya kemungkinan tertular tinggi karena mereka merawat orang orang yang tidak perlu dirawat itu yang penting," kata Windhu kepada Liputan6.com.
Menurut Windhu, pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen pengendalian Covid-19 yang sudah sesuai dengan standar WHO. Instrumen itu dapat digunakan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Misalnya dalam penentuan kenaikan level PPKM setiap wilayah. Kemudian penggunaan dari aplikasi PeduliLindungi.
Pelaksanaan PPKM
Kendati begitu implementasi penggunaan aplikasi dan pelaksanaan PPKM masih dipertanyakan. Di lapangan kata Windhu, banyak pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Seperti halnya penggunaan QR code dalam aplikasi PeduliLindungi di area fasilitas publik. Padahal hal tersebut dapat membantu dalam pengendalian Covid-19.
"Tempat area publik hanya abal-abal aja sekedar formalitas pasang barcode tapi tidak dipindai secara individual dan tidak diawasi oleh petugas. Setelah dipindah tidak dilihat jangan-jangan hitam tetap masuk," ucap dia.
Kemudian mengenai cakupan vaksinasi sebagai pembentukan imunitas warga. Windhu meminta agar setiap wilayah dapat mengejar standar vaksinasi hingga booster. Terutama untuk para lansia dan masyarakat dengan penyakit penyerta. Selain itu peningkatan testing dan tracing juga sangat diperlukan. Meskipun saat ini kedua instrumen tersebut tidak dapat mengejar tingginya kasus di masyarakat.
Windhu optimistis penggunaan instrumen yang benar dapat memberikan rasa aman dan terkendali dalam pengendalian Covid-19. "Kalau semua instrumen kita gunakan dengan bagus, senjata PeduliLindungi kita gunakan sebagai standar, kita relatif bagus dan saya optimis untuk menyelesaikan (pandemi) ini," Windhu menjelaskan.
Advertisement