Ini Penyebab Gunung Tangkuban Parahu Semburkan Gas Putih

Badan Geologi Kementerian ESDM melaporkan terjadi peningkatan aktvitas vulkanik di Kawah Ratu Gunung Tangkuban Parahu pada Sabtu, 12 Februari 2022.

oleh Arie Nugraha diperbarui 13 Feb 2022, 04:34 WIB
Mobil Basarnas melintas di kawasan sekitar gunung berapi Tangkuban Perahu sehari setelah erupsi di Subang, Kabupaten Bandung Barat, provinsi Jawa Barat (27/7/2019). Erupsi terjadi pada pukul 15.48 WIB, Jumat (26/7/2019). Erupsi terjadi di Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu. (AFP Photo/Timur Matahar

Liputan6.com, Jakarta - Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat mengalami peningkatan.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, mengungkapkan, peningkatan vulkanik Gunung Tangkuban Parahu itu berupa hembusan gas berwarna putih dari Kawah Ecoma yang berada di dalam Kawah Ratu.

“Hembusan gas berwarna putih dengan tekanan sedang, tinggi sekitar 100 meter dari dasar kawah,” ujar Eko dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com, Bandung, Sabtu (12/2/2022).

Eko menjelaskan, hembusan gas itu diduga dipicu adanya air yang meresap ke bawah permukaan kawah. Sehingga resapan air terpanaskan oleh batuan di bagian dangkal di bawah permukaan kawah dan membentuk akumulasi uap air bertekanan tinggi.

“Sehingga terjadi over pressure dan keluar melalui rekahan sebagai zona lemah, berupa embusan yang cukup kuat,” kata Eko.

Embusan berwarna putih dari kawah tersebut menunjukan bahwa gas didominasi oleh uap air. 

Aktivitas vulkanik di dekat permukaan ini, sebut Eko, dapat terjadi karena adanya perubahan kesetimbangan energi yang berasal dari faktor internal maupun eksternal. Biasanya berasal dari tekanan uap magma yang naik dari kedalaman. 

Eko menambahkan, faktor lainnya dapat berasal dari curah hujan dan tingkat penguapan. “Dominasi gempa hembusan selama periode 1 Januari - 11 Februari 2022 menunjukkan adanya aktivitas hydrothermal di bawah tubuh gunung api,” ucap Eko.

Badan Geologi juga mencatat, dalam jangka waktu yang sama terekam dua kali gempa vulkanik dangkal, satu kali gempa frekuensi rendah, serta 80 kali gempa embusan. 

Energi gempa embusan itu terlihat di grafik real-time seismic amplitude measurement (RSAM) berfluktuatif dan tidak menunjukkan adanya pola kenaikan pada akhir periode pengamatan. 

“Pengamatan deformasi (perubahan bentuk) dengan menggunakan EDM (Electronic Distance Measurement) tidak menunjukkan adanya gejala inflasi (penggembungan akibat kenaikan fluida) pada tubuh gunung api,” terang Eko.


Waspada Erupsi Freatik

Embusan gas berwarna putih tipis dengan ketinggian 50 meter dari dasar Kawah Ratu di Gunung Tangkuban Parahu pada Minggu (28/7/2019). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Eko memperingatkan masyarakat soal erupsi freatik (semburan abu disertai uap air di sekitar gunung) yang bersifat tiba-tiba tanpa didahului oleh gejala peningkatan aktivitas vulkanik yang jelas.

Erupsi freatik ini menghasilkan material piroklastik serta gas-gas vulkanik konsentrasi tinggi di sekitar kawah. 

“Sementara itu potensi hujan abu yang lebih tipis dapat menjangkau area yang lebih luas bergantung pada arah dan kecepatan angin,” ungkap Eko.

Namun jika mengacu pada data pemantauan visual dan instrumental, potensi bahaya Gunung Tangkuban Parahu masih terlokalisasi di dalam kawah dan potensi erupsi besar belum teramati.

Eko menegaskan tingkat aktivitas Gunung Tangkuban Parahu masih dalam status normal atau Level I. 

Pada status ini rekomendasi yang diterbitkan antara lain masyarakat tidak turun ke dasar Kawah Ratu dan tidak mendekati atau beraktivitas di sekitar kawah-kawah aktif lain.

Tingkat aktivitas ini akan dievaluasi kembali selama dua hingga tiga hari ke depan untuk antisipasi jika terjadi gejala peningkatan aktivitas vulkanik yang signifikan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya