Serikat Buruh Sarbumusi Dukung Omnibus Law Asal Beri Catatan

Organisasi buruh itu memiliki sejumlah catatan terkait kekurangan dalam UU Cipta Kerja yang perlu dibenahi kembali.

oleh Bam Sinulingga diperbarui 13 Feb 2022, 13:34 WIB
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (PPP) oleh pemerintah dan DPR, telah disetujui menjadi usul inisiatif DPR. Banyak tudingan yang menyebut tindakan tersebut untuk meloloskan UU Cipta Kerja.

Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), sebagai salah satu serikat buruh yang mendukung Omnibus Law Cipta Kerja ini menilai memang masih banyak hal yang belum didiskusikan.

"Omnibus Law itu kan merangkum banyak UU yang disatukan dalam satu UU untuk kepentingan tertentu, untuk cipta kerja. Dalam konteks sektor ketenagakerjaan, memang banyak yang belum kita diskusikan, walaupun sebenarnya UU ini perlu diadakan lah," kata Sekjen Sarbumusi, Eko Sarwanto, Minggu (13/2/2022).

Meski demikian, organisasi buruh tersebut memiliki sejumlah catatan terkait kekurangan dalam UU Cipta Kerja yang perlu dibenahi kembali.

"Pertama soal pengaturan hubungan industrialnya dan tata cara. Sebenarnya isu-isu dasar yang terkait dengan buruh belum juga tersentuh. Misalnya soal kebebasan berserikat, itu tetap aja walaupun ada UU Cipta Kerja, proses penolakan terhadap serikat pekerja juga masih terjadi," ujar Eko.

"Sebenarnya UU Cipta Kerja ini harus juga dicantumkan hubungan antara pengusaha dengan buruh. Artinya, UU Cipta Kerja ini sebenarnya maju, cuma dalam konteks isu tertentu tidak bisa menyelesaikan persoalan," kata dia.

Menurutnya, pemerintah perlu memberikan informasi lengkap terkait isu-isu ketenagakerjaan di Indonesia kepada para investor. Hal ini berkaitan dengan tata cara investasi di Indonesia yang juga termasuk dalam UU Cipta Kerja.

"Tetapi itu nampaknya belum terjawab. Masih saja, misalnya investor itu tidak memahami secara komprehensif kondisi pekerja di Indonesia," akunya.

Hal kedua, yakni keberadaan posisi pengawas yang sangat rentan. Bahkan ketenagakerjaan pun tidak memiliki pengawas yang seimbang antara jumlah perusahaan dengan pengawas yang ada.

Hal ini, kata dia, juga mesti tercantum dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah juga diminta melakukan amandemen UU otonomi daerah yang masih mendisentralisasi urusan ketenagakerjaan, yang harusnya menjadi urusan pusat, provinsi hingga daerah.

"Contoh kecil, kepala dinas (kadis) tertentu di provinsi maupun kabupaten, ditunjuk berdasarkan keinginan bupati atau gubernur, yang mana kadisnya tidak memiliki kompetensi terkait isu ketenagakerjaan," singgungnya.

"Mestinya kadis diangkat berdasarkan kompetensi masing-masing dengan sertifikasi yang dimiliki. Caranya adalah disentralisasi urusan ketenagakerjaan. Jadi seluruh kadis ketenagakerjaan diangkat dan diberhentikan oleh Kementerian Tenaga Kerja melalui kantor cabang begitu," jelas Eko.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Isu Pesangon

Begitu pula dengan isu pesangon yang menjadi hak buruh. Penyesuaian pembayaran pesangon korban PHK di UU Cipta Kerja, diakui bisa lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pesangon di UU Ketenagakerjaan.

"Para buruh yang sekarang sebagai pekerja tetap yang mungkin sudah puluhan tahun, tetap harus dihormati dengan aturan pesangon yang sudah ditentukan dalam peraturan," tegasnya.

Melihat tren saat ini didominasi pekerja milenial, Eko mengimbau perlu adanya pengaturan lebih lanjut terkait hal ini. Pasalnya, pekerja milenial terbiasa berpindah-pindah perusahaan dan enggan menjadi pekerja tetap.

"Milenial ini kan maunya kerja di beberapa perusahaan. Dan juga model jam-jam pekerja tidak bisa full 7-8 jam, tapi dihitung per jam. Nah di situ juga harus ada pengaturan UU seperti itu ke depannya," paparnya.

Hal ketiga adalah isu fasektoral, misalnya perusahaan yang memerlukan gradasi ekspor. Perusahaan seperti ini biasanya selalu mencari daerah yang memiliki upah rendah. Sehingga para investor di satu daerah bisa memindahkan perusahaannya di daerah lain yang upahnya rendah.

"Contoh perusahaan Nike. Perusahaan ini kan gradasi ekspor, misalnya di daerah A gajinya Rp 5 juta, tapi begitu pindah ke daerah B upahnya jadi Rp 2 juta. Di sini lah letak ketidakadilannya. Makanya ada semacam penyesuaian sektor tertentu yang terorientasi ekspor. Dan harus ada roadmap atau cabang untuk menyesuaikan upah," jelasnya.

Eko berharap apa yang menjadi catatan pihaknya terkait Omnibus Law Cipta Kerja, dapat dibenahi secepatnya guna memaksimalkan efektivitas UU yang sedang ditunggu perbaikannya oleh MK tersebut.

"Kalau kita secara fungsi itu mendukung adanya UU Cipta Kerja, tapi dengan catatan tadi itu. Yang kedua sebagai bagian dari tujuan kita, pemerintah harus segera memenuhi keputusan MK terkait dengan UU tersebut," pungkasnya.

Sebelumnya dalam paripurna, mayoritas dewan setuju mengusung Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU-PPP) untuk memasukkan soal metode Omnibus Law.

Revisi UU PPP ini dilakukan demi menentukan nasib revisi UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya UU PPP dikatakan belum mengakomodasi metode Omnibus Law, sehingga pemerintah dan DPR tidak bisa melakukan perbaikan jika belum merevisi UU tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya