DPR Sebut Permenaker soal JHT Harus Dicabut Jika Rugikan Pekerja

Saleh Partaonan Daulay mengaku sejauh ini dalam rapat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan tidak sama sekali membicarakan perubahan tentang (JHT).

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 14 Feb 2022, 11:20 WIB
Massa buruh menggelar unjuk rasa di depan Kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/11/2020). Buruh kembali menggelar aksi lanjutan menuntut pemerintah dan DPR untuk mencabut Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengaku sejauh ini dalam rapat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan tidak sama sekali membicarakan perubahan tentang Jaminan Hari Tua (JHT), yang kini dituangkan dalam Permenaker Nomor 2 tahun 2022.

"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah disounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan," kata dia dalam keterangannya, Minggu (13/2/2022).

Politikus PAN ini mengatakan, bahwa Permenaker tersebut masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Menurutnya. diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja.

Saleh mengungkapkan, kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar dicabut.

"Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait," ungkap dia.

Selain itu, masih kata Saleh, munculnya perubahan ini karena ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang membuat double klaim. Namun, ada masalah di sini.

"Masalahnya, JKP itu kan payung hukumnya adalah UU Ciptaker. Apakah sudah bisa diberlakukan? Bukankah Permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat?," tanya Saleh.

"Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan," sambungnya.

 

 


PPP Minta Dicabut

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PPP Anas Thahir mengkritisi Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

"Langkah Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah yang mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) memang layak menuai kecaman. Permen tersebut dinilai menyengsarakan pekerja sehingga harus dicabut segera," ujar Anas, Minggu (13/2/2022).

Dia menilai, Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tidak masuk akal, apalagi disebutkan bahwa JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun. Menurutnya, untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat tidak harus menunggu hari tua.

Anas mengatakan, Permenaker ini justru berdampak buruk terhadap kondisi kehidupan para pekerja Indonesia yang saat ini sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid. Anas melihat, pemerintah hanya mengedepankan pertimbangan aspek yuridis an-sich dalam penyusunan Permen ini.

"Padahal sebelum menerbitkan peraturan seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan komprehensip, baik dari aspek yuridis, sosiologis, filosofis maupun ekonomis. Dan harus benar-benar melihat kondisi faktual yang dihadapi para pekerja atau buruh," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya