Ini Proyek yang Buat Dirut Krakatau Steel Silmy Karim Diusir DPR

Di hadapan Komisi VII DPR RI, Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menuturkan ada dua penyelesaian yang ditempuh terkait proyek blast furnace.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 14 Feb 2022, 19:52 WIB
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim.

Liputan6.com, Jakarta - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) mengungkapkan perkembangan dari sejumlah proyeknya yang mangkrak, salah satunya proyek blast furnace.

Dalam paparannya di hadapan Komisi VII DPR RI, Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menuturkan ada dua penyelesaian yang ditempuh terkait proyek tersebut.

"Jadi ada hal untuk blast furnace. Pertama penyelesaian dari sisi komersial, yaitu mencari partner. Kedua yaitu dalam konteks penegakan hukum,” ungkap Silmy dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Senin (14/1/2022).

Dalam rangka upaya balancing capacity fasilitas produksi hulu dan hilir serta efisiensi biaya produksi slab, pada 2011, Krakatau Steel membangun proyek Blast Furnace Complex untuk memberikan output hot metal dalam fasilitas ironmaking eksisting berbasis gas alam.

Silmy menjelaskan, perencanaan pabrik blast furnace telah dilakukan sejak 2008, dan dieksekusi pada 2012. Kemudian dilanjutkan dengan konstruksi sampai penyelesaian proyek di 2019. Saat bergabung dengan Krakatau Steel pada 2018, Silmy mengaku mendapat mandat untuk menyelesaikan proyek blast furnace yang saat itu sudah 99 persen.

"Kami kejar dalam hitungan bulan agar segera beroperasi, dan akhirnya berproduksi di 2019. Setelah beroperasi kami hitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," kata Silmy.

"Dengan izin Kementerian BUMN, konsultasi dengan BPK, kajian lembaga independen, kita putuskan untuk dihentikan operasinya,” ia menambahkan.

Silmy menuturkan, salah satu penyebab proyek tersebut tidak efisien lantaran tidak ada fasilitas basic oxygen furnace (BOF).

"Semula, BOF yang dirancang tetap menggunakan jalur elektrik atau furnace yang sudah dimiliki Krakatau Steel. Sehingga terjadi kehilangan atau pertambahan biaya yang mengakibatkan selisih biaya jika melewati jalur BOF dengan jalur memodifikasi yang lama," ujar dia.

Manajemen saat itu, termasuk Silmy akhirnya memutuskan untuk menghentikan operasional blast furnace, sembari menyiapkan fasilitas BOF-nya.

Pada saat yang sama, Silmy mengaku manajemen saat itu juga mendapat tugas untuk melakukan restrukturisasi dan transformasi. Silmy mengatakan, sumber utang perseroan saat itu salah satunya terkait pembiayaan proyek blast furnace.

"Langkah penyelesaian blast furnace kita mulai dengan mencari partner. Fasilitasnya sudah ada, sudah sempat jalan, kemudian kita harus lakukan investasi tambahan untuk BOF USD 100 juta,” ujar dia.

“Berhubung sedang restrukturisasi dan harus optimalkan sisa keuangan yang ada untuk lakukan transformasi, maka yang kita utamakan adalah langkah-langkah yang bisa berikan dampak cepat untuk men-turn around KRAS,” ia menambahkan.

Dia menuturkan, memang ada beberapa pihak asing yang saat itu berminat untuk bekerja sama dengan perseroan di iron steel making Krakatau Steel. Di sisi lain, kerja sama tersebut dinilai mampu mengurangi pembiayaan oleh Krakatau Steel.

Hingga pada 2021, Silmy mengaku mendapat arahan dari Kementerian BUMN untuk juga melakukan penyelesaian dari sisi hukum.

“Kabar yang kami terima dalam waktu dekat ada kesimpulan dan langkah lanjut dari kejaksaan,” kata Silmy.

Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan pihaknya sudah menerima laporan terkait adanya dugaan korupsi di PT Krakatau Steel. Pelaporan diterima KPK dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Terkait debat dengan Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi sehingga terjadi pengusiran, saat dikonfirmasi mengenai hal itu, Silmy Karim belum membalas pesan singkat dari Liputan6.com.

 

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Debat Berujung Pengusiran

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim diusir dari ruang rapat Komisi VII DPR RI. Hal itu menyusul perdebatan Silmy dengan rapat yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi.

Semula, Komisi VII memiliki agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim terkait beberapa hal. Di antaranya, perkembangan smelter di Kalimantan Selatan, blast furnace yang mangkrak, penjelasan terkait impor baja, dan lain-lain.

Dalam paparannya, Silmy mengemukakan penghentian operasional blash furnace lantaran merugi. Namun, hal itu dikritik oleh Bambang sebab dinilai tak sejalan dengan upaya memperkuat produksi dalam negeri.

"Ini bagaimana pabrik blast furnace ini dihentikan, tapi mau memperkuat produksi dalam negeri? Ini jangan maling teriak maling. Jangan kita ikut bermain, tapi pura-pura gak ikut bermain," kata Bambang, Senin, 14 Februari 2022.

”Maksudnya maling bagaimana?” tanya Silmy seketika menimpali.

Bambang kembali mempertegas pertanyaannya mengenai upaya perusahaan pelat merah itu untuk andil memperkuat industri baja nasional, sementara pabrik blast furnace. Silmy pun berusaha menjelaskan.

Namun, respons Silmy itu dinilai oleh Komisi VII tidak sesuai dengan teknis persidangan lantaran berbicara sebelum dipersilakan. Bambang-pun geram.

"Ada teknis persidangan. Kok kayaknya Anda enggak pernah menghargai Komisi VII. Kalau sekiranya enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar!” kata Bambang.

"Baik, kalau memang harus keluar. Kita keluar,” jawab Silmy.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya