Harga Kedelai Naik dari Rp 8.500 ke Rp 11.000 per Kg, Kemendag Harus Turun Tangan

Akibat kenaikan harga kedelai secara terus menerus, jumlah perajin tahu dan tempe terus berkurang khususnya perajin yang kecil.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Feb 2022, 20:00 WIB
Perajin memproduksi tempe di industri rumahan kawasan Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (13/1/2022). Mengakali kembali naiknya harga kedelai, para perajin di Kampung Tempe tersebut terpaksa memperkecil ukuran demi mempertahankan pelanggan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk segera turun tangan mengatasi kenaikan harga kedelai. Langkah ini dibutuhkan untuk memberikan ketenangan pada masyarakat maupun pada perajin tahu dan tempe.

“Tugas Kementerian Perdagangan memang seperti itu. Tidak bisa membiarkan masyarakat bertarung sendiri,” kata Rachmat Gobel dikutip dari Antara, Senin (14/2/2022).

Harga kedelai melambung akibat fluktuasi harga internasional, khususnya di Amerika Serikat. Produsen terbesar kacang kedelai di dunia adalah Brazil, Amerika Serikat, Argentina, dan China.

Pada 2020 harga kacang kedelai di tingkat konsumen masih sekitar Rp 8.500 per kilogram. Namun pada 2021 sudah naik menjadi Rp 9.500-Rp 10 ribu per kilogram. Kini harga kacang kedelai sudah berada di atas Rp 11 ribu per kilogram.

Akibat kenaikan harga kedelai secara terus menerus tersebut, jumlah perajin tahu dan tempe terus berkurang, khususnya perajin yang kecil. Padahal pemerintah sudah tidak mengenakan bea masuk terhadap komoditas kacang kedelai.

Rachmat Gobel menyampaikan tahu dan tempe merupakan makanan rakyat dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, katanya, usaha tahu dan tempe juga merupakan sektor yang bisa dimasuki oleh masyarakat bawah dengan mudah.

Karena itu, katanya, fluktuasi harga dan kenaikan harga kacang kedelai bisa mengganggu lapangan kerja dan lapangan usaha.

“Di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini, semua pihak, khususnya pemerintah untuk bekerja lebih sungguh-sungguh agar kemiskinan tak terus naik,” kata Rachmat Gobel.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Solusi Permanen

Perajin memproduksi tempe di kawasan Sunter, Jakarta, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dengan memperkecil ukuran tempe dan menaikan harga jual kisaran Rp1.000 - Rp2.000 per potong. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Lebih lanjut ia menyatakan masalah kacang kedelai ini harus dicarikan solusi yang lebih permanen. Hal itu, katanya, membutuhkan kerja sama semua pihak, khususnya Kemendag dan Kementerian Pertanian (Kementan).

Saat ini sekitar 80 persen kebutuhan kacang kedelai berasal dari impor. Karena itu Kemendag harus bisa mengatur stok agar tak mudah diterjang fluktuasi harga internasional maupun oleh situasi perdagangan internasional.

Selain itu, katanya, Kemendag juga harus bisa mengatur stabilitas harga di dalam negeri. Pada sisi lain, katanya, walaupun tanaman ini merupakan tanaman subtropis, namun tanaman ini masih bisa berkembang dengan baik di Indonesia.

“Jadi harus ada koordinasi agar kran impor diatur dengan kemampuan Kementan dalam menyediakan kacang kedelai dari petani. Jangan sampai pasar kebanjiran produk impor yang kemudian bikin kapok petani untuk menanam kedelai,” katanya.

Rachmat Gobel juga menekankan agar Kementan bekerja keras dan memiliki program yang sistematis agar Indonesia bisa berswasembada kacang kedelai.

"Manfaatkan teknologi dan kuatkan riset,” katanya. Indonesia juga sudah menjadi eksportir edamame. Hal itu membuktikan bahwa tanah Indonesia bisa untuk tanaman kedelai. “Ingat, produk olahan kedelai telah menjadi makanan nasional seperti tahu, tempe, bahkan kecap,” katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya