Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam tujuh tahun, hingga lebih dari 2 persenketika ketegangan antara Rusia dan Ukraina semakin meningkat.
Dengan Rusia sebagai salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia, kekhawatiran akan kemungkinan negara itu menginvasi Ukraina telah mendorong reli minyak mendekati USD 100 per barel, menjadikannya level harga tertinggi sejak 2014.
Advertisement
"Pasar tetap sangat sensitif terhadap perkembangan situasi Rusia/Ukraina," kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York.
"(Ketegangan) ini sekarang meningkat ke tingkat yang luar biasa. Saat ini, beli (minyak) sekarang, dan lihat nanti," ujar dia.
Harga minyak mentah Brent naik USD 2,04, atau 2,2 persen - menjadi USD 96,48 per barel, setelah menyentuh level tertinggi sejak September 2014 di USD 96,78.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS juga naik USD 2,36, atau 2,5 persen, menjadikan harganya dipatok USD 95,46 per barel.
Rusia merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia, dengan kapasitas sekitar 11,2 juta barel per hari, kata Nishant Bhushan, analis pasar minyak senior untuk Rystad Energy.
"Setiap gangguan aliran minyak dari kawasan itu akan membuat harga Brent dan WTI meroket lebih tinggi jauh di atas USD 100, ditambah dengan perjuangan pasar memasok peningkatan permintaan minyak mentah karena ekonomi pulih dari pandemi," jelas Bhushan.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, telah berjuang memenuhi janji bulanan untuk meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari (bph) hingga bulan Maret 2022.
Kepala Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol juga mendesak OPEC+ untuk menutup kesenjangan dari janji tersebut.
AS dan Inggris Yakin Masih Ada Jalur Diplomasi untuk Isu Ukraina dan Rusia
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden AS Joe Biden sepakat dalam panggilan telepon pada Senin (14 Februari) bahwa "jendela penting untuk diplomasi" tetap ada selama krisis di Ukraina.
"Mereka sepakat bahwa masih ada jendela penting bagi diplomasi dan bagi Rusia untuk mundur dari ancamannya terhadap Ukraina," tambah juru bicara Downing Street tentang seruan antara sekutu transatlantik itu. Demikian seperti dilansir dari laman Channel News Asia, Selasa (15/2/2022).
"Para pemimpin menekankan bahwa setiap serangan lebih lanjut ke Ukraina akan mengakibatkan krisis yang berkepanjangan bagi Rusia, dengan kerusakan yang luas bagi Rusia dan dunia."
Kedua pemimpin juga menekankan bahwa diskusi diplomatik dengan Rusia tetap menjadi "prioritas pertama", dan menyambut baik pembicaraan yang telah terjadi antara Rusia dan sekutu NATO.
"Mereka sepakat bahwa sekutu Barat harus tetap bersatu dalam menghadapi ancaman Rusia, termasuk memberlakukan paket sanksi yang signifikan jika agresi Rusia meningkat," tambahnya.
“Mereka juga menegaskan kembali perlunya negara-negara Eropa untuk mengurangi ketergantungan mereka pada gas Rusia, sebuah langkah yang, lebih dari yang lain, akan menyerang jantung kepentingan strategis Rusia.”
Diskusi tersebut, yang terbaru di antara para pemimpin dunia yang berfokus pada krisis di Ukraina, muncul setelah para pejabat intelijen AS memperingatkan bahwa invasi oleh Moskow ke tetangga baratnya bisa terjadi beberapa hari lagi.
Rusia telah mengumpulkan lebih dari 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina dan di negara tetangga Belarusia, di mana mereka telah melakukan latihan bersama.
Sebelumnya, Johnson mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mundur dari ujung tombak permasalahan, menyebut situasinya "sangat, sangat berbahaya" saat berbicara dengan wartawan dalam kunjungan ke Skotlandia.
Pemimpin Inggris itu mengatakan dia tidak punya rencana untuk mengunjungi Moskow, tetapi dia akan segera membahas krisis itu dengan "berbagai pemimpin".
Advertisement