Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Tahun Baru Imlek juga erat kaitannya dengan Cap Go Meh. Kebanyakan orang mengenal Cap Go Meh sebagai bagian perayaan yang dilakukan orang Tionghoa dua minggu setelah Imlek.
Cap Go Menh menjadi perayaan terakhir sebelum rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek benar-benar selesai. Secara harfiah, Cap Go Meh berarti '15 hari atau malam setelah Imlek'.
Advertisement
Oleh sebab itu, perayaan ini biasanya dilakukan setiap tahun pada tanggal 15 bulan pertama berdasarkan sistem penanggalan Imlek. Perayaan Cap Go Meh sendiri tidak hanya dirayakan di Indonesia, tapi juga sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Awalnya, perayaan ini dirayakan sebagai hari penghormatan pada Dewa Thai Yi yang dianggap sebagai dewa tertinggi di Dinasti Han (206 SM-221 M). Ketika itu, perayaan Cap Go Meh dilakukan secara tertutup oleh kalangan istana dan belum dikenal masyarakat awam.
Festival itu biasanya dilakukan di malam hari, sehingga harus menyediakan banyak lampion dan aneka lampu warna-warni. Lampion sendiri merupakan pertanda kesejahteraan hidup bagi seluruh anggota keluarga.
Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, baru Cap Go Meh dikenal masyarakat. Saat perayaan ini, rakyat bisa bersenang-senang sambil menikmati pemandangan lampion yang telah diberi banyak hiasan.
Di Tiongkok, festival ini lebih dikenal dengan nama Festival Yuanxiao atau Festival Shangyuan. Beberapa juga menyebutnya sebagai Festival Lentera.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Legenda Cap Go Meh
Di samping itu, ada pula legenda mengenai perayaan Cap Go Meh itu sendiri. Menurut legenda, perayaan ini berawal dari kisah Kaisar Giok sebagai tokoh sentral dalam agama Tiongkok yang marah pada penduduk desa.
Diceritakan, ia marah karena angsa peliharannya dibunuh penduduk desa, sehingga ia berencana untuk membakar desa tersebut. Namun ada penatua yang mengingatkan warga desa mengenai rencana tersebut.
Ia pun menyarankan penduduk desa menyalakan lentera di seluruh kota saat hari yang telah ditentukan Kaisar, yakni pada tanggal 15 penanggalan Lunar.
Lampion yang menyala itu lantas berhasil menipu Kaisar Giok, karena ia mengira desa telah terbakar, sehingga desa selamat. Sebagai rasa syukur, penduduk desa memperingati peristiwa tersebut setiap tahun dengan membawa lentera warna warni di seluruh kota.
(Dam/Ysl)
Advertisement