Akhir Skandal Herry Wirawan, Si Predator Seksual Santri di Bandung

Herry Wirawan hadir dalam sidang vonis di PN Kelas IA Bandung. Ia hanya tertunduk lesu sepanjang perjalanan sidang.

oleh Nanda Perdana PutraHuyogo Simbolon diperbarui 16 Feb 2022, 00:01 WIB
Terdakwa kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung Herry Wirawan dituntut hukuman mati. (Liputan6.com/ Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jawa Barat menarik perhatian media dan masyarakat kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022). Dalam agenda persidangan tercatat, akan digelar sidang vonis terdakwa Herry Wirawan, pemerkosa 13 santri di Bandung.

Guru sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat, hadir dalam sidang vonis tersebut. Ia hanya tertunduk lesu sepanjang perjalanan sidang.

Dalam sidang ini, Majelis Hakim menyatakan Herry Wirawan terbukti bersalah memperkosa belasan santri yang dilakukan sejak 2016 hingga 2021 lalu. Dia pun divonis dengan hukuman seumur hidup penjara.

"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu pidana seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Yohannes Purnomo Suryo Adi, Selasa (15/2/2022).

Perbuatan Herry telah terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) jo Pasal 76 D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Selain itu, terdakwa juga dihukum untuk membayar restitusi terhadap para korban dengan jumlah yang mencapai hampir Rp 300 juta.

Majelis Hakim tidak menjatuhkan hukuman mati dan hukuman kebiri kimia kepada Herry Wirawan. Hakim berpendapat hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

“Berdasarkan pembelaan terdakwa, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Dan pada pokoknya, terdakwa menyesal atas kesalahan,” terang ketua majelis hakim ketika membacakan amar putusan.

Terkait hukuman kebiri kimia, hakim mempertimbangkan, kebiri kimia dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

Selanjutnya kebiri kimia ini bisa ditetapkan jika pidana penjara yang diberikan yakni ancaman penjara maksimal hingga 20 tahun.

Majelis hakim juga berpendapat jika terdakwa sudah diberi pidana hukuman mati atau seumur hidup yang tidak memungkinkan terpidana selesai menjalani pidana pokok, maka kebiri kimia tidak bisa dilakukan.

"Tidak mungkin jika setelah terpidana mati, setelah jalani eksekusi mati, atau mati karena jalani pidana penjara, dan kemudian terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia," imbuhnya.

Atas putusan yang dibacakan hakim, tim jaksa penuntut umum yang dipimpin oleh Kajati Jabar Asep N Mulyana menyatakan akan pikir-pikir mengajukan banding.

Vonis terhadap terdakwa Herry Wirawan ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut Herry dengan pidana mati yang dinilai sudah diatur dalam perundang-undangan.

"Tuntutan mati diatur dalam peraturan perundang-undangan, artinya secara legal ketika kami melakukan suatu tuntutan itu diatur dalam suatu ketentuan regulasi," katanya.

Selain hukuman mati, Herry juga dituntut untuk dihukum kebiri kimia. Kemudian Herry juga dituntut membayar denda sebesar Rp 500 juta dan juga dituntut membayar restitusi kepada para korban sebesar Rp331 juta.

 


Akui Perbuatannya

Terdakwa kasus perkosaan santri di Bandung, Herry Wirawan menyesali perbuatannya memperkosa 13 santri Pondok Pesantren Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat. Hal itu disampaikan Herry dalam duplik atau tanggapan pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Kamis 3 Februari 2022 lalu.

Setelah menyesali perbuatan bejatnya, Herry meminta agar mendapatkan keringanan hukuman dengan alasan membesarkan anak-anaknya.

"Pada dasarnya tetap pada pembelaan yang sebelumnya dan terdakwa meminta keringanan dari tuntutan yang sudah kami bacakan dari persidangan sebelumnya," ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dodi Gazali Emil seusai persidangan.

Adapun persidangan berlangsung tertutup. Terdakwa Herry juga mengikuti jalannya persidangan dari Rutan Kebonwaru, Bandung.

Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejati Jabar Rika Fitriani menuturkan, permintaan Herry kepada majelis itu mempertimbangkan sebagai ayah, di mana ia harus mengurus dan membesarkan anaknya. Pria yang dikenal sebagai guru ngaji itu sudah memiliki satu istri dan tiga buah hati.

"Minta diberi kesempatan untuk bisa membesarkan anaknya," ujarnya.

Terkait anak yang dimaksud adalah hasil perbuatan bejat Herry terhadap para santriwatinya, Rika menjawab pihaknya tidak mengetahui secara pasti. “Jadi, dia hanya bilang anaknya. Mungkin yang umumlah,” tuturnya.

Rika mengatakan ada raut penyesalan dari wajah Herry Wirawan setelah dituntut hukuman mati. Namun ia memastikan hal itu tidak memengaruhi perkara.

"Kalau di awal (sebelum tuntutan) dia kelihatan lebih tidak menunjukkan penyesalan tapi kalau untuk sekarang dia kelihatan lebih bersedih dan kelihatan rasa bersalahnya. Kalau untuk terakhir kali kelihatannya lebih bersedih saja," cetusnya.

Sebelumnya, dalam replik, jaksa tetap kepada pendirian menuntut Herry Wirawan hukum mati, dan tambahan pidana kebiri kimia serta menyita semua aset milik terdakwa.

Kasus ini menyorot perhatian berbagai pihak atas perlakuakn bejat Herry Wirawan terhadap santrinya. Tak hanya memperkosa santriwatinya hingga hamil dan melahirkan, Herry Wirawan juga tega memperalat santriwati itu untuk meraih simpati dan menggalang dana bantuan.

Kasus ini mulai terkuak pada Juni 2021 lalu. Namun baru ramai menggegerkan publik pada akhir 2021 lantaran tak langsung terekspose dengan alasan menghindari dampak psilogis dan sosial para korban.

Awal kasus terungkap ketika salah satu korban pulang ke rumah saat akan merayakan hari raya Idul Fitri. Namun hal janggal terlihat dalam diri korban.

Orangtua korban yang melihat ada perubahan dari diri anaknya bertambah terkejut saat mengetahui putrinya hamil. Dari situ, keluarga dengan ditemani Kepala Desa melapor ke Polda Jabar.

 


Hukum Seberat-Beratnya

Wakil Presiden Ma'ruf Amin turut menanggapi tuntutan jaksa terhadap Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat. Juru Bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Masduki Baidlowi menyatakan rasa keprihatinan orang nomor dua di Indonesia itu.

"Wapres sangat prihatin dengan kondisi pelecehan seksual kekerasan seksual seperti itu. Wapres minta itu dihukum seberat-beratnya," tutur Masduki melalui virtual, Minggu (16/1/2022).

Menurut Masduki, hukuman yang seharusnya diterapkan tentu mesti memberikan efek jera bagi pelakunya. Tidak hanya itu, penegakan hukum tersebut harus menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya.

"Nah terlepas dari apakah masuk kita, Wapres tidak ingin masuk ke wilayah kontroversi setuju tidak setuju terhadap hukuman mati ya, walaupun secara hukum pemberlakuan hukuman mati belum dihapus. Artinya bagaimana efek jera dari sebuah kejadian yang terus berulang dan belum menimbulkan efek jera, Wapres meminta bagaimana agar hukuman terkait dengan hal yang seperti itu bisa menimbulkan efek jera," kata Masduki.

Sementara itu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengapresiasi Jaksa yang menuntut hukuman berat terhadap Herry Wirawan.

"Terkait dengan kasus yang terjadi di Jawa Barat, kita patut bersyukur, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat turun langsung menjadi jaksa penuntut umum. Tuntutan yang diberikan kepada terdakwa adalah tuntutan yang seberat-beratnya," kata Bintang melalui keterangan tertulis, Kamis (13/1/2022).

"Tidak hanya kebiri, tapi juga hukuman mati, demikian juga denda dan restitusi termasuk sita aset milik pelaku, yang nantinya aset lelangnya ini diperuntukkan kepada korban dan anak-anaknya," ujar Bintang menambahkan.

Ia berharap, hakim memberikan putusan yang sama dengan tuntutan jaksa. "Mudah-mudahan nanti di pengadilan, keputusan hakim tidak jauh berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum," ujarnya.

Tak hanya itu, Bintang juga menyampaikan apresiasi terhadap aparat penegak hukum yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban dalam penanganan kasus, utamanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya dalam penanganan kasus-kasus yang terjadi belakangan ini. Sinergi dan kolaborasi APH memberikan 'kaca mata' atau persepsi yang sama dalam suatu penanganan kasus," ujarnya.

Menurut Bintang, tambahan fungsi layanan rujukan akhir sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membuka kesempatan yang lebih luas bagi KemenPPPA untuk melakukan koordinasi langsung dengan pemerintah daerah.

"Selain itu, kami dapat melakukan monitoring dan langsung mencarikan jalan keluar bagi permasalahan yang ada di lapangan yang selama ini kami koordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait," ujarnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya