Liputan6.com, Jakarta - Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah, meminta DPR RI menghentikan praktik menghadirkan jajaran pimpinan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam rapat bersama lembaga legislatif tersebut. Fahri menilai pejabat di perusahaan pelat merah itu bukanlah pejabat politik.
Maka kehadiran mereka dalam rapat DPR dianggap kurang memiliki substansi. "Rapat DPR RI dengan BUMN selain enggak ada dasar hukumnya, juga lebih banyak mudaratnya. Sebaiknya dihentikan, cukup Kementrian BUMN yang rapat sebagai kuasa pemegang saham. Rapat pemegang saham & pengawasan cukup di komisaris saja. Pertamina cukup rapat sama Ahok dkk. Enggak usah ke DPR," tulis Fahri Hamzah lewat akun Instagram pribadinya, Rabu (16/2022).
Advertisement
Direksi BUMN, kata dia, adalah pejabat bisnis bukan pejabat politik. Membiasakan mereka rapat di DPR RI membuat mereka bermental politik. Menurut Fahri inilah akar dari rusaknya profesionalisme di BUMN.
"Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!" tegas dia.
Menurut Fahri, ada kesalahan di hulu persoalan. Karena aturan yang ada masih ambigu dan membiarkan kontradiksi di UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), juga UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
"Harusnya diperjelas bahwa pengelolaan BUMN tunduk ke dalam rezim korporasi dan pertanggungjawaban pemegang saham di Kementerian BUMN," tekan dia.
Dengan begitu, menurut Fahri Direksi BUMN tidak perlu melayani DPR RI dalam rapat kerja karena mereka korporasi. Kalau ada rapat kerja kuasa ada di Kementerian BUMN. Kalau pun DPR ingin memanggil BUMN, harusnya diwakili komisaris dan itu hanya terkait isu negara dengan kuasa pemegang saham. Bukan isu yang berhubungan dengan teknis.
"Tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden saja bisa dipanggil," tandasnya.
Dirut Krakatau Steel Diusir
Sebelumnya, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim, diusir dari ruang rapat Komisi VII DPR RI. Hal itu menyusul perdebatan Silmy dengan rapat yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi.
Semula, Komisi VII memiliki agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim terkait beberapa hal. Di antaranya, perkembangan smelter di Kalimantan Selatan, blast furnace yang mangkrak, penjelasan terkait impor baja, dan lain-lain.
Dalam paparannya, Silmy mengemukakan penghentian operasional blash furnace lantaran merugi. Namun, hal itu dikritik oleh Bambang sebab dinilai tak sejalan dengan upaya memperkuat produksi dalam negeri.
"Ini bagaimana pabrik blast furnace ini dihentikan, tapi mau memperkuat produksi dalam negeri? Ini jangan maling teriak maling. Jangan kita ikut bermain, tapi pura-pura gak ikut bermain," kata Bambang, Senin (14/2/2022).
”Maksudnya maling bagaimana?” tanya Silmy seketika menimpali.
Bambang kembali mempertegas pertanyaannya mengenai upaya perusahaan pelat merah itu untuk andil memperkuat industri baja nasional, sementara pabrik blast furnace. Silmy pun berusaha menjelaskan.
Namun, respons Silmy itu dinilai oleh Komisi VII tidak sesuai dengan teknis persidangan lantaran berbicara sebelum dipersilakan. Bambang-pun geram.
"Ada teknis persidangan. Kok kayaknya Anda enggak pernah menghargai Komisi VII. Kalau sekiranya enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar!” kata Bambang.
"Baik, kalau memang harus keluar. Kita keluar,” jawab Silmy.
Advertisement