Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 soal mekanisme pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) terus menuai konflik. Sejumlah golongan, utamanya kelompok buruh tidak sepakat klaim JHT baru bisa dicairkan pada saat pekerja berusia 56 tahun.
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai, putusan soal Jaminan Hari Tuatersebut memang kurang bijak lantaran reaksi negatif terus bermunculan.
Secara aturan tata negara, ia menjelaskan, isi Permenaker Nomor 2/2022 bisa diubah atau dicabut lewat dua mekanisme.
Pertama, pengajuan keberatan atau gugatan kepada Menaker Ida Fauziyah untuk mencabut aturan pencairan JHT tersebut. Kedua, adanya upaya banding kepada presiden agar RI 1 memerintahkan Menaker membatalkan regulasi tersebut.
"Upaya ini bisa dilakukan oleh para mereka yang terkena aturan ini. Atau, Menaker dengan berbagai bidang kajian, tanpa harus dimohonkan dicabut dia akan cabut sendiri. Sebaiknya kesadaran itu (diutamakan)," kata Asep kepada Liputan6.com, Rabu (16/2/2022).
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kewenangan Jokowi
Asep menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelas punya kewenangan intervensi untuk memerintahkan Menaker mencabut aturan pembayaran JHT di usia 56 tahun.
Menurut dia, pertanggungjawaban utama atas segala kebijakan pemerintah jelas berada di bawah kendali Presiden Jokowi.
"Boleh enggak presiden mencabutnya? Ya boleh. Tapi hemat saya, hirarkinya cabut dulu oleh yang bersangkutan atas perintah presiden," terang Asep.
"Mengapa presiden memerintahkan, karena ada gejolak yang tidak baik dari masyarakat terhadap Permenaker ini. Maka presiden boleh memerintahkan itu," tandas dia.
Advertisement