4 Tanggapan Ahli Terkait Kasus Kematian Pasien COVID-19 di Masa Dominasi Omicron

Laporan harian Satuan Tugas COVID-19 menunjukkan kasus kematian di masa dominasi Omicron per 1 hingga 16 Februari 2022 totalnya mencapai 1.274.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 17 Feb 2022, 15:00 WIB
Tim penanganan membungkus jenazah seorang pasien COVID-19 yang meninggal di rumah selama isolasi mandiri karena rumah sakit setempat tidak mampu lagi menampung pasien COVID-19 di Bogor, Jawa Barat, Senin (6/7/2021). (ADITYA AJI/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Laporan harian Satuan Tugas COVID-19 menunjukkan kasus kematian di masa dominasi Omicron per 1 hingga 16 Februari 2022 totalnya mencapai 1.274.

Mengenai angka pasien meninggal tersebut, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan 4 tanggapan sebagai berikut:

Pertama, angka meninggal karena Omicron jauh lebih rendah dari angka yang wafat pada saat Delta. Jumlah kematian dalam sehari ketika kasus Delta mendominasi pernah mencapai 2.000 orang. Angka kematian 16 Februari yang mencapai 167 orang di masa Omicron jauh lebih rendah dari kematian akibat Delta.

“Angka fatalitas (Case Fatality Rate/CFR) di saat Omicron ini pasti jauh lebih kecil daripada saat Delta,” kata Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Kamis (17/2/2022). 

Walau demikian, akan baik kalau masyarakat menyadari bahwa warga yang meninggal dunia tidaklah dapat semata-mata digambarkan dengan angka perbandingan saja. Perlu pula dilihat bagaimana dampak pada keluarga yang ditinggalkan, nyawa yang hilang tidak tergantikan, serta berbagai pertimbangan aspek lainnya.

Simak Video Berikut Ini


Analisa Kematian

Tanggapan kedua yakni terkait Kementerian Kesehatan sudah melakukan analisa 1.090 pasien yang meninggal sampai 13 Februari 2022.

Disebutkan bahwa 68 persen di antaranya belum divaksinasi lengkap, jadi 32 persen yang meninggal sudah divaksinasi lengkap. Disampaikan juga data bahwa 49 persen yang wafat masuk golongan lanjut usia, artinya 51 persen belum lanjut usia, dan 48 persen memiliki komorbid, atau 52 persen tidak memiliki komorbid.

“Juga tentu ada gabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.”


Analisa Mendalam

Ketiga, Tjandra mengusulkan agar analisa kematian ini dapat dilakukan dengan lebih mendalam, setidaknya dalam lima bentuk yakni:

-Penentuan Cause of Death (COD), apakah  karena COVID dengan badai sitokin misalnya, atau justru karena perburukan komorbid yang ada, atau gabungan keduanya, dan lain-lain.

-Analisa bagaimana perjalanan klinik dari mulai tertular, manifestasi gejala awal dan proses perburukannya sampai pasien wafat.

-Pendataan soal perbandingan antara Omicron dan varian lain pada mereka yang meninggal dunia.

-Analisa lokasi meninggal seperti di rumah, rumah sakit, atau tempat lainnya.

-Menghitung waktu yang dibutuhkan saat proses penanganan, yang biasa disebut patient’s delay, doctor’s delay, health system delay, atau hospital delay dan lain-lain.

“Akan baik sekali kalau hasil analisa ini dipublikasi di jurnal ilmiah sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan di waktu mendatang.”


Terkait BOR

Tanggapan keempat terkait Bed Occupancy Rate (BOR) atau angka keterisian rumah sakit. Diberitakan bahwa BOR saat ini masih rendah, sekitar 30 persen, itu pun belum dihitung dari kapasitas maksimal.

“Jadi, usul konkrit saya lainnya untuk mengantisipasi peningkatan kasus yang meninggal adalah dengan kemungkinan merawat di RS pasien yang masih gejala ringan tetapi punya risiko untuk menjadi berat dan bukan tidak mungkin meninggal dunia.”

“Nanti kalau BOR sudah meningkat maka kebijakan dapat disesuaikan lagi,” tutup Tjandra.

 


Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan COVID-19 Varian Omicron

Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya