Liputan6.com, Jakarta - Media sosial kini menjadi sarana berkampanye dalam pemilihan umum. Namun, media sosial berpotensi menjadi ladang penyebaran hoaks, disinformasi, dan misinformasi.
Hal ini disampaikan oleh Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam Diskusi Publik virtual bertajuk “Kolaborasi Menangkal Hoaks Menjelang Pemilu 2024”, Kamis (17/2/2022).
Diskusi ini sendiri merupakan hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), dan CekFakta.com.
Baca Juga
Advertisement
Khoirunnisa menjelaskan mengenai tren disinformasi pada Pemilu 2014 dan 2019. “Kalau (tren disinformasi) di 2014, tujuannya adalah mengubah persepsi masyarakat, yang tadinya suka calon A, kemudian dengan adanya disinformasi, bisa beralih pilihannya,” Khoirunnisa menjelaskan.
Selain itu, ditemukan pada 2014, disinformasi lebih berfokus untuk saling menjatuhkan antarkandidat. Sedangkan pada 2019, hal tersebut tidak efektif, tetapi bertujuan untuk memengaruhi emosi dan perilaku masyarakat dalam memilih.
Khoirunnisa mengambil contoh adanya disinformasi terkait metode pengumpulan suara dalam Pemilu 2019 lalu. Isu yang beredar adalah metode polling yang dilakukan di salah satu media sosial.
“Sempat tersebar di media sosial bahwa pemilihan presiden itu dilakukan melalui polling, KPU melakukan polling di salah satu media sosial dan banyak yang percaya,” ujarnya.
Metode pemilihan umum yang salah tersebut dipercayai banyak pihak, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemilu oleh KPU.
Guna mengantisipasi disinformasi terjadi pada Pemilu 2024, Khoirunnisa menjelaskan beberapa cara penanganannya.
Lebih rinci, yaitu dengan menganalisis dampak dari disinformasi tersebut, membentuk tim khusus memantau aktivitas di media sosial, memberi informasi yang komprehensif dan mudah diakses, serta penyusunan strategi komunikasi dalam menanggapi disinformasi.
Pada kesempatan yang sama, ia juga menjabarkan kepentingan kode etik berkampanye di media sosial.
Adanya kode etik ini diharapkan mampu menjunjung prinsip pemilu, sumber dana yang transparan, akuntabel, menghormati hak individu, hak kita sebagai masyarakat, hak privasi, hak kebebasan berpendapat, akses terhadap informasi juga harus dijaga, dan ketika kampanye di media sosial tidak ada bentuk diskriminasi dan tetap harus inklusif.
Penulis: Viona Pricilla/Universitas Multimedia Nusantara
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement