Divonis Penjara Seumur Hidup, Ini Tanggapan Kriminolog terkait Kasus Herry Wirawan

Herry Wirawan, pemerkosa belasan santri, divonis penjara seumur hidup pada 15 Februari 2022

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Feb 2022, 11:00 WIB
Terdakwa kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung Herry Wirawan dituntut hukuman mati. (Liputan6.com/ Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta Pemimpin Pondok Pesantren Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat, yang memerkosa belasan santri, Herry Wirawan dijatuhi vonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung pada 15 Februari 2022.

Terkait vonis tersebut, kriminolog Haniva Hasna M. Krim mengatakan bahwa bila merujuk pada Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Jo Pasal 76D UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo Pasal 65 KUHPidana, ada ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Ada pemberatan hukuman kepada terdakwa, karena persetubuhan atau perkosaan tersebut dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang seharusnya melakukan perlindungan terhadap anak. Pidananya ditambah 1/3, artinya 15 tahun ditambah 5 tahun.

“Namun bila saat ini tuntutannya penjara seumur hidup tentunya sudah diberikan pemberatan oleh jaksa,” kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks, Jumat (18/2/2022).

Simak Video Berikut Ini


Sempat Dituntut Hukuman Mati

Pemberatan hukuman bisa jadi seiring dengan kemauan masyarakat yang memang mengutuk keras perilaku Herry terhadap anak-anak.

Pasalnya, buah dari perilakunya tidak hanya merusak fisik, mental, tetapi juga masa depan korban termasuk anak-anak yang dilahirkan.

Sebelumnya, ia dituntut hukuman mati oleh jaksa, tapi tuntutan tersebut berakhir dengan penjara seumur hidup.

“Alasan Hak Asasi Manusia (HAM) sih yang membuat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) jadi dikurangi. Kalau menurut saya pribadi, hukuman itu fungsinya adalah deterrent effect atau menggentarjerakan.”

“Nah, yang jera itu tidak hanya pelaku, tapi efeknya bisa dirasakan secara psikologis oleh para pelaku di luar sana yang sampai saat ini belum atau tidak terlaporkan ataupun masyarakat yang melihat proses hukum ini. Sehingga masyarakat akan merasa takut melakukan kejahatan.”

Namun, bila hukum selalu dapat diskon akhirnya orang yang berpotensi  melakukan kejahatan serupa akan menyepelekan penegakan hukum. Kejadian seperti ini akan terulang lagi, karena tidak ada efek jera, kata Iva.


Bisa Diberi Keringanan?

Terkait kemungkinan keringanan hukuman, Iva mengatakan bahwa yang seharusnya mengajukan banding itu keluarga korban.

“Korban 13 orang perempuan , 9 anak yang akan menanggung beban psikologis dan memiliki sejarah negatif seumur hidupnya akan wajar bila berkeinginan untuk menuntut hukuman lebih berat.”

“Bayangkan, pelaku masih bisa hidup nyaman di penjara, dibiayai oleh pemerintah, mungkin juga diupayakan kesembuhan secara kognitif dan perilaku. Tapi apakah korban juga bisa hidup layak seperti itu. Siapa yang menjamin kelangsungan hidup korban baik fisik, psikis maupun sosial?”

Akhirnya tidak adil untuk korban karena yang paling sering terjadi adalah ketika pelaku sudah ditindak, maka dianggap selesai semua permasalahannya. Padahal kelangsungan hidup korban juga masih panjang, tambah Iva.

“Bila pelaku terlindung oleh HAM, bagaimana dengan korban? Apakah hak-haknya di masa yang akan datang juga akan terpenuhi?” tutup Iva.


Infografis Herry Wirawan Terancam Hukuman Mati dan Kebiri Kimia

Infografis Herry Wirawan Terancam Hukuman Mati dan Kebiri Kimia. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya