Liputan6.com, Jakarta - Polemik mengenai ketersediaan dan harga minyak goreng masih jadi pembicaraan di masyarakat. Paling baru, pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng, namun belum sepenuhnya berubah di pasaran.
Misalnya minyak goreng kemasan di toko-toko ritel modern terpantau masih sering kosong. Sementara menurut keterangan penjaga toko ritel modern atau minimarket menyebut ada batasan dalam penjualan maupun pembelian sebagai salah satu bentuk manajemen stok.
Masyarakat pun hanya boleh membeli maksimal dua kemasan. Tujuannya agar ada pemerataan dan tak ada pembelian berlebihan dair masyarakat.
Sementara itu, harga minyak goreng di pasar tradisional tak bergeser terlalu jauh alias masih mahal. Diketahui harga minyak goreng per liter paling tinggi saat itu mencapai Rp 21 ribu per liter. Sementara saat ini harga minyak goreng kemasan di pasar tradisional masih menyentuh Rp 18.600-19.600 per liter.
Padahal pemerintah sebelumnya telah melakukan sejumlah upaya, mulai dari subsidi bagi produsen minyak goreng, hingga menetapkan HET Rp 14 ribu untuk minyak goreng kemasan premium.
Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun telah menaikkan kasus dugaan kartel ke penegakan hukum di KPPU. Simak perjalanannya:
Guyur Subsidi Rp 7,6 Triliun
Pemerintah telah memutuskan untuk meningkatkan upaya menutup selisih harga minyak goreng demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri mikro, dan industri kecil, salah satunya menambah subsidi menjadi Rp 7,6 triliun dari sebelumnya hanya Rp 3,6 triliun.
Kebijakan ini didasarkan atas hasil evaluasi yang mempertimbangkan ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng bagi masyarakat.
Menindaklanjuti kebijakan sebelumnya, Pemerintah memastikan kembali agar masyarakat dapat memperoleh harga minyak goreng kemasan dengan harga terjangkau Rp14.000,00 per liter. Upaya menutup selisih harga ini tidak hanya diberikan untuk minyak goreng kemasan 1 liter, tetapi juga diberikan untuk minyak goreng dalam kemasan 2 liter, 5 liter, dan 25 liter.
“Dalam rapat ini diputuskan bahwa untuk selisih harga minyak goreng akan diberikan dukungan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 7,6 triliun,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika memimpin Rapat Komite Pengarah BPDPKS, Selasa (18/1/2022).
Minyak goreng kemasan dengan harga khusus tersebut akan disediakan sebanyak 250 juta liter per bulan selama jangka waktu 6 bulan. Pemerintah juga akan terus melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin, minimal 1 bulan sekali, terkait dengan implementasi kebijakan ini.
“Pemberlakuan kebijakan satu harga untuk minyak goreng yakni sebesar Rp 14.000 per liter akan di mulai pada hari Rabu tanggal 19 Januari 2022 pukul 00.00 WIB di seluruh Indonesia. Namun, khusus untuk pasar tradisional diberikan waktu penyesuaian selambat-lambatnya 1 minggu dari tanggal pemberlakuan,” pungkas Menko Airlangga.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Atur Harga Eceran Tertinggi
Satu minggu berselang dari penerapan subsidi itu, namun tak kunjung menekan harga di pasaran. Harga masih terpantau tinggi, meski ada stok yang cukup banyak di pasaran.
Dalam mengatasi itu, pemerintah selanjutnya mengambil langkah penetapan minyak goreng kemasan satu harga di Rp 14.000. kebijakan ini dimulai dari toko ritel moderen dan menyusul satu pekan kemudian di pasar tradisional.
Namun, rencana tak berjalan mulus, satu minggu penerapan minyak goreng satu harga, stok malah langka didapatkan di toko ritel moderen dan minimarket sekitar pemukiman rumah warga. Alhasil, pemerintah kembali mengambil kebijakan lainnya, dengan mengatur HET dan kebijakan Domestic Market Obligation dan Domestic Price Obligation. Harapannya, ini membawa kestabilan harga minyak goreng.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menegaskan pemerintah akan memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi minyak goreng curah hingga minyak goreng kemasan premium. Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 Februari 2022.
“Selain Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) per tanggal 1 februari 2022 kami juga akan memberlakukan penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (27/1/2022).
Dengan begitu, diharapkan terjadi kestabilan harga minyak goreng di sektor pasaran. Langkah ini pula disebut sebagai pengembalian kestabilan harga kepada mekanisme pasar.
Rincian HET minyak goreng diantaranya, minyak goreng curah dipatok Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.
“Seluruh harga eceran tertinggi itu sudah termasuk PPN didalamnya,” kata dia.
Advertisement
Proses Hukum KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memanggil empat produsen minyak goreng. Pemanggilan ini merupakan tindaklanjut dari upaya pengusutan KPPU terhadap dugaan praktik kartel dalam kenaikan harga minyak goreng.
Kepala Biro Hubungan dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan, proses pemanggilan produsen minyak goreng belum selesai, dan masih akan terus berlanjut ke depannya.
"Saat ini sudah diperoleh keterangan dari empat produsen minyak goreng. Masih diagendakan berbagai panggilan dari produsen minyak goreng lainnya," ujar Deswin kepada Liputan6.com, Rabu (9/2/2022).
Namun, KPPU belum berkenan memberikan informasi atau keterangan yang diperoleh dari proses pemanggilan tersebut. Dengan tujuan untuk kepentingan penegakan hukum.
"Tetapi, umumnya tidak lepas dari upaya produsen memenuhi tuntutan HET (harga eceran tertinggi, minyak goreng), faktor pembentukan harga, permasalahan di hulu, hingga masalah distribusi," papar Deswin.
"Ke depan pemanggilan akan terus dilakukan, dan pertemuan dengan pemerintah juga akan dilaksanakan untuk memperkuat atau memperdalam keterangan yang diperoleh," ungkapnya.
Proses pemanggilan sendiri sudah dilakukan KPPU sejak Jumat, 4 Februari 2022 lalu. Kala itu, pihak lembaga mulai memanggil tiga produsen produsen minyak goreng.
HET Tak Efektif
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita, menilai intervensi ekonomi yang dilakukan Pemerintah cenderung tidak efektif dan di beberapa kesempatan justru kontraproduktif, salah satunya soal minyak goreng.
Dia menjelaskan, saat harga minyak goreng naik tajam pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan harga Rp 14.000 per kg minyak goreng. Alhasil, minyak goreng di minimarket-minimarket hanya tersisa label harganya saja sedangkan barangnya tidak ada.
“Ibu-ibu rumah tangga yang biasa berbelanja di kios-kios sekitar rumah tinggal tetap mendapat harga Rp 20.000 per kilo karena stok lama yang dibeli pemilik kios dengan harga di atas Rp 14.000,” kata Ronny, Kamis (3/2/2022).
Stok yang terbatas yang disediakan di tempat perbelanjaan yang gerainya juga terbatas, membuat intervensi pemerintah tidak dinikmati oleh masyarakat banyak.
“Padahal jika Pemerintah mau, Pemerintah bisa memperlakukannya seperti operasi pasar beras biasa dengan Bulog sebagai ujung tombak yang melakukan operasi pasar di sekitar pasar-pasar tradisional, yang kemudian akan memaksa penjual untuk menurunkan harga,” usulnya.
Namun, sama halnya seperti kasus harga tes PCR yang seharusnya bisa ditekan pemerintah via layanan tes PCR di seluruh rumah sakit negeri, minyak goreng pun sama. Harga turun tapi stok terbatas, sehingga masyarakat akhirnya juga tak menikmati intervensi ekonomi yang dilakukan Pemerintah.
Dari pengalaman intervensi Pemerintah tersebut, jelas pemerintah tidak siap sehingga tak diperhitungkan dengan jernih.
Advertisement