Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan kita perlu mendukung event musik internasional. Dukungan tersebut salah satunya agar kolintang bisa mendunia jadi warisan budaya UNESCO.
"Kolintang merupakan salah satu alat musik warisan budaya asli Indonesia dari Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena itu, saat ini kami akan gerak cepat memastikan Kolintang diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO," kata Sandiaga melalui akun Instagram pribadinya, Jumat, 18 Februari 2022.
Baca Juga
Advertisement
Alat musik ini terbuat dari kayu khusus yang disusun dan dimainkan dengan cara dipukul. Sekilas kolintang ini hampir sama dengan alat musik gambang dari Jawa, namun yang membedakan adalah nada yang dihasilkan lebih lengkap dan cara memainkannya sedikit berbeda.
"Kolintang merupakan salah satu alat musik tradisional yang cukup terkenal di masyarakat Minahasa, dan sering digunakan untuk mengiringi upacara adat, pertunjukan tari, pengiring nyanyian, bahkan pertunjukan musik," dikutip dar lpmpsulawesiutara.kemdikbud.go.id, Sabtu (19/2/2022).
Meski berbahan dasar kayu, tapi jika dipukul akan menghasilkan bunyi-bunyi yang nyaring dan merdu. Bunyi yang dihasilkan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah.
Kolintang dapat dibuat dari jenis kayu telur, bandaran, wenang, kakinik. Namun, bisa juga jenis kayu lain yang ringan tetapi bertekstur padat dan serat kayunya tersusun rapi membentuk garis-garis horizontal.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Makna Kolintang
Kata “kolintang” berasal dari bunyi “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada tengah. Dahulu, orang Minahasa biasanya mengajak bermain kolintang dengan mengatakan “Mari kita ber Tong Ting Tang” atau dalam bahasa daerah Minahasa “Maimo Kumolintang”. Dari kebiasaan itulah muncul istilah “kolintang”.
Pada awalnya, kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya yang duduk di tanah, dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Seiring waktu berjalan, penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang. Sementara peti resonator baru mulai digunakan sejak kedatangan Pangeran Diponegoro di Minahasa pada 1830.
Advertisement
Satu Melodi
Dahulu, kolintang hanya terdiri dari satu melodi yang terdiri dari susunan nada diatonis, dengan jarak nada dua oktaf. Sebagai pengiring, digunakan alat-alat musik bersenar seperti gitar, ukulele, dan bas.
Namun pada 1954, kolintang sudah memiliki jarak nada dua setengah oktaf dan masih tetap memiliki susunan nada diatonis. Pada tahun 1960, berkembang lagi hingga mencapai tiga setengah oktaf dengan nada 1 kres, naturel, dan 1 mol.
Dasar nadanya masih terbatas pada tiga kunci (naturel, 1 mol, dan 1 kruis), jarak nadanya berkembang lagi menjadi empat setengah oktaf dari F sampai dengan C. Perkembangan alat musik kolintang masih tetap berlangsung, baik dari segi kualitas alat, perluasan jarak nada, maupun bentuk peti resonator
Bentuk Kolintang
Kolintang terbuat dari kayu yang dipotong sesuai dengan ukuran dan disusun diatas alas kayu yang berfungsi sebagai resonator. Kayu yang digunakan untuk balok Kolintang biasanya terbuat dari kayu khusus yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar.
Kolintang dapat dikenali dari bentuknya yang unik, yakni serangkaian bilah kayu yang disusun di atas sebuah rak dengan ukuran bilah yang semakin menyusut. Panjang pendeknya bilah ini menyesuaikan dengan nada yang ingin dihasilkan.
Pemain musik kolintang diharuskan mempelajari bagaimana cara memegang tongkat pemukul dengan baik dan benar, hal ini terkait dengan cara menghasilkan nada pada alat musik ini, dimana terkadang, pemain musik kolintang diharuskan menggunakan tiga buah nada (chord) dalam sebuah lagu. Untuk dapat menghasilkan chord, pemain musik kolintang mau tidak mau menggunakan tiga buah tongkat pemukul.
Advertisement