Liputan6.com, Banyuwangi - Selain mempunyai sejarah panjang, Banyuwangi juga memiliki banyak legenda yang menceritakan asal mula daerah di ujung timur Jawa ini. Salah satunya, kisah Pangeran Sidapaksa dan Putri Dewi Sri Tanjung.
Cerita tersebut diyakini menjadi cikal bakal lahirnya Banyuwangi. Bahkan, di Pendopo Sabaha Sawgata Blambangan, Banyuwangi, yang merupakan rumah dinas bupati Banyuwangi saat ini, terdapat sumur tua yang diberi nama Sri Tanjung.
Konon sumur itu katanya sering kali airnya mengeluarkan bau yang harum, sehingga ada beberapa kalangan menyebutnya sumur itu merupakan tempat Pangeran Sidopaksa membunuh Putri Sri Tanjung dengan tuduhan selingkuh. Karena Putri Sritanjung tidak bersalah akhirnya darah yang menetes berbau wangi.
Sejarawan Banyuwangi, Suhailik, menyebutkan legenda Banyuwangi itu terbagi menjadi tiga, yaitu, cerita Sri Tanjung berdasarkan kidung Sri Tanjung, cerita Dewi Surati dan Raden Banterang, dan cerita Serat Darmagandul.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Suhailik, cerita kidung Sri Tanjung berkisah tentang Pangeran Sidapaksa yang semula mengabdi kepada Raja Sulakrama, raja di Sinduraja. Pada suatu ketika Sulakrama memerintahkan kepada Sidapaksa meminta obat kepada Begawan Tambapetra di Desa Prangalas.
Di sana, Sidapaksa jatuh hati dengan Sri Tanjung cucu Begawan Tambapetra. Begawan akhirnya tidak memberikan obat kepada Sidapaksa namun menganjurkan raja untuk bertanya kepada para pujangga tentang obat yang diinginkanya.
Pada waktu malam tiba ketika orang-orang semuanya pada tidur, Sidapaksa membawa lari Sri Tanjung. Ibu Sri Tanjung Sri Wani, bertanya kepada Begawan, ayahnya. Bengawan Tambapetra mengatakan sudah tahu Sri Tanjung dibawa lari Sidapaksa. Ia juga mengungkapkan fakta mengejutkan, Sidapaksa adalah cucunya juga.
Prabu Sulakrama sangat iri melihat Sidapaksa yang justru pulang dengan membawa istri cantik, bukannya membawa obat. Raja memiliki rencana untuk membunuh Sidapaksa dan merebut istrinya.
Sidapaksa disuruh ke kayangan untuk menyampaikan surat dan menagih hutang dewa berupa tiga batang emas dan tiga gulung benang. Padahal di dalam surat itu tertulis Sidapaksa bermaksud menyerang kayangan, sehingga para dewa diminta membunuh Sidapaksa.
Dengan pertolongan Sri Tanjung yang memberikanya selendang Antakusuma peninggalan ayahnya, Sidapaksa berhasil ke kayangan. Saat Sidapaksa ke kayangan, Prabu Sulakrama membujuk Sri Tanjung agar mau menjadi istrinya. Permintaan itu ditolak Sri Tanjung.
“Putri Sri Tanjung memilih tetap setia kepada suaminya Sidapaksa yang sedang diutus ke kayangan,” ujar penulis buku Lingkar Waktu ini.
Karena isi surat itu, terjadi pertempuran sengit di Kayangan. Para dewa kalah.
Dewa Indra maju dan berhasil menangkap Sidapaksa. Sidapkasa menerima hukuman penggal kepala.
Saat akan dipenggal, Sidapaksa memanggil orangtuanya yaitu, Sakula, Nakula serta para Pandawa lainya.
"Akhirnya diketahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan pandawa dan kedatangannya bukan untuk menyerang kayangan," ucap Suhailik.
Sidapaksa kembali ke Sinduraja sambil membawa tiga batang emas dan tiga gulung benang. Parabu Sulakrama kemudian menyambutnya sambil menyatakan Sri Tanjung berselingkuh dengannya.
Sidapaksa sangat percaya kepada keterangan Prabu Sulakrama, sehingga dia langsung pulang menjemput istrinya itu. Sesampainya di Kepatihan, Sri Tanjung dibawa ke kuburan Gandamayu dan ditusuk.
Sebelum ajal, Sri Tanjung berpesan apabila bau darahnya harum maka dia tidak bersalah. Ternyata bau darah Sri Tanjung harum. Sidapaksa sangat menyesal dan menjadi gila.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Putri Sri Tanjung Hidup Lagi
Legenda asal–usul Banyuwangi Putri Sritanjung dan Pangeran Sidapaksa cukup tersohor. Namun sebagian besar kisahnya hanya sampai pada kematian Sri Tanjung yang dibunuh suaminya saja.
Budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyanto beberapa bulan yang lalu telah menulis buku yang mengisahkan Sri Tanjung hidup kembali.
Menurut Aekanu, hidupnya kembali Sri Tanjung untuk membalas keangkuhan Raja Sindureja, yaitu Prabu Sulakrama. Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Betari Durga atau Betari Umah.
“Sri Tanjung diruwat disucikan dan terbebaskan dari kutukan oleh Sadewa ayah Sri Tanjung karena Nyawa Sri Tanjung belum waktunya meninggal,” ujar Aekanu.
Sri Tanjung kemudian diberi bunga wangi, dimandikan, dibedaki, dan disuruh makan sari bunga yang membuatnya semakin cantik dan dikasihi oleh semua mahluk hidup. Kemudian Sri Tanjung dianugerahi sebuah jimat yang bernama mustika wadon yang membuatnya bisa menghidupkan orang mati.
“Pengambaran air dan Sri Tanjung di relief candi maupun naskah kuno berhubungan langsung dengan penyucian tolak bala atau ruwatan. Air itu sangat berperan sebagai simbol penyucian atau amarta maupun simbolisme tirta yang berarti perjalanan dari tahap rendah ke tahap yang lebih tinggi,” ucap Aekanu.
Pada akhir ceritanya, dari atas langit Betari Umah tidak tega melihat nasib Sidapaksa yang menjadi gila karena kecerobohanya sendiri. Betari mendekati Sidapaksa dan mencoba untuk menolongnya.
Betari Umah meletakan tangan kananya di atas kepala Sidapaksa untuk menyembuhkanya sehingga perlahan Sidapaksa sembuh kembali menjadi normal. Setalah sadar Sidapaksa diminta untuk minta maaf kepada Sri Tanjung.
Sri Tanjung mau memaafkan kembali suaminya dengan syarat Sidapaksa harus membunuh Prabu Sulakrama. Dengan kesaktian yang dimikinya Sidapksa akhirnya mampu membunuh Prabu Sulakrama.
Setelah Sulakrama meninggal dunia, Sidapaksa mengantikan Prabu Sulahkrama menjadi Raja Sindureja.
Cerita Legenda Sri Tanjung ini ternyata terukir pada banyak candi di Pulau Jawa, terutama pada candi-candi masa Majapahit, seperti, Candi Jabung Probolinggo, Candi Surowono Pare Keiri, Candi Penataran Blitar, Candi Bajangratu Mojokerto, Candi Tegowangi Kediri, dan Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah.
“Saya melihat langsung jejak Sri Tanjung di beberapa candi Jawa, karena saya melakukan penelitian ini sekitar 15 tahun, dan di candi yang saya kunjungi itu ternyata semuanya ada relief Sri Tanjung,” ucap Aekanu.
Beberapa candi yang berhubungan dengan Sri Tanjung sudah didatanginya dan memiliki cerita yang sama, yakni kesetiaan istri terhadap suami atau cinta sejati.
Advertisement
Cerita Sri Tanjung Lebih Terkenal
Dari sejumlah cerita rakyat tentang asal –usul Banyuwangi ini, mulai cerita kidung Sri Tanjung, Cerita Dewi Surati dan Raja Banterang hingga cerita Serat Darmagandu, yang paling populer di masyarakat Banyuwangi yaitu ceirta tentang Sri Tanjung.
Menurut Penulis Buku Lontar Sri Tanjung, Anasrullah, cerita Sri Tanjung dan Sidapaksa lebih populer, karena ceritanya sangat menarik dan menyentuh.
“Tidak hanya orang Banyuwangi, Masyarakat dari luar kota saja banyak yang tahu cerita Sri Tanjung, itu karena ceritanya yang menyentuh dihati masyarakat. Meski kebanyakan ceirta yang berkembang kisah putri Sri tanjung dan Sidapaksa hanya tamat atau berhenti pada waktu Sidapaksa membunuh Sri Tanjung dan keluar bau yang wangi saja. padahal dalam lontar Sri Tanjung pun mengisahkan Sri Tanjung hidup lagi," ujar Anasrulllah.
Hal yang sama diutarakan oleh Kordinator Divisi Informasi dan Komunikasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Banyuwangi, Akabar Wiyana yang tidak menampik kalangan milenial juga menyukai kisah ini.
“Mungkin siapapun yang mendengar atau membaca kisah putri Sri Tanjung ini akan tertegun ya. Karena kisahnya penuh makna dan pesan yang penting dalam kehidupan kita. Seperti kita menjalani hidup di dunia ini jangan sampai mudah percaya kepada hasutan orang, sebab jika muda percaya akibatnya sangat fatal seperti Sidapaksa yang percaya hasutan raja Sinduraja yang akhirnya membuh istrinya sendiri yaitu Sri Tanjung padahal dia tidak bersalah,” ucap Akbar.