Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah partai politik atau parpol baru mulai bermunculan jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang akan diselenggarakan dua tahun lagi. Agaknya jumlahnya pun terus bertambah dibanding sebelumnya. Penyelenggaraan Pemilu 2024 pun sudah ditetapkan pada 14 Februari.
Nantinya, masyarakat yang telah memiliki hak pilih dapat memberikan suaranya. Yaitu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta DPD. Menurut Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno kemunculan parpol baru jelang Pemilu merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia.
Advertisement
Kemunculan mereka diibaratkan jamur di musim hujan. Deklarasi partai ataupun dukungan juga menjadi hal biasa jelang Pemilu. Adi menilai kemunculan sebagian parpol baru itu merupakan bentuk untuk meneguhkan eksistensi para tokoh dan figurnya.
Ada pula parpol yang menjadi bagian dari konflik politik dan akhirnya mendirikan partai baru dengan sebagian tokohnya sudah dikenal masyarakat. Lalu keikutsertaan parpol baru juga disebut untuk dipilih masyarakat dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
"Variabel yang ketiga ada partai-partai atau orang yang kalau mau Pemilu itu ingin menonjolkan visi dan ideologi politik tertentu seperti Partai Buruh, atau ideologi Islam seperti partai Masyumi. Itu biasanya muncul jelang Pemilu karena musim Pemilu itu musim panen raya bagi semua partai untuk dipilih publik," kata Adi saat dihubungi Liputan6.com.
Kendati begitu tak semua parpol baru dapat menarik simpati publik. Misalnya sudah terjadi konflik internal sebelum melakukan pendaftaran partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adi menilai banyaknya parpol baru juga tidak mempunyai pembeda politik dengan partai yang sudah ada.
Bahkan gagal sebelum ikut serta dalam kontestasi politik. Seperti halnya berguguran karena tidak lolos verifikasi faktual di KPU. Sebab lolos verifikasi faktual dinilai tidak gampang. Kepengurusan partai dari tingkat pusat hingga kecamatan dicek berdasarkan aturan yang ada. Kemudian keterwakilan perempuan sebesar 30 persen juga akan dicek secara detail.
Ketika dinyatakan lolos verifikasi faktual KPU, perjalanan sebuah partai masih panjang. Tantangan selanjutnya yaitu ambang batas parlemen sebesar 4 persen untuk Pemilu 2024. Angka tersebut dinilai tinggi dan menjadi momok semua partai.
"Jangankan partai yang baru deklarasi, partai lama banyak yang enggak lolos ke Senayan. PSI itu berulang kali enggak lolos misalnya. Dulu PBB pernah di parlemen itu wassalam juga," ucap dia.
Ambang Batas Parlemen
Selain itu tantangan yang lain menurut Adi yakni mengenai ceruk pemilih di Indonesia. Sebuah partai lama telah memiliki basis partai yang cukup kuat. Sedangkan partai baru segmentasi pemilihnya kecil dan berpotensi berpindah ke partai lama.
"Partai baru ini ya semacam hiasan demokrasi elektoral aja hilang timbul jelang Pemilu saja bak jamur di musim hujan," ujar Adi.
Adi juga memprediksi akan sulit parpol baru untuk bisa lolos ke Senayan pada Pemilu kali ini. Strategi dan kemunculannya pun dianggap sebagai ajang ikut-ikutan untuk meramaikan kontestasi lima tahunan tersebut. Hal itu menurut Adi didasarkan pada tak ada kemunculan mereka ketika adanya polemik pemerintah yang ramai akhir-akhir ini.
"Gelap gulita lah membayangkan partai seperti itu sekarang aja enggak kedengaran enggak jelas juga pengurus nya enggak jelas juga struktur partai nya seperti apa hanya ramai sesaat dan akselerasi politiknya enggak keliatan," Adi menandaskan.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Bahwa banyak tantangan yang akan dihadapi oleh parpol baru untuk dapat mengisi kursi di parlemen. Pertama yakni persyaratan untuk mendaftarkan legalitas kelembagaan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi oleh parpol baru untuk bisa mendapatkan status dari Kemenkumham. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pemilu. Misalnya sebuah partai harus memiliki kantor di 100 persen provinsi, 75 persen kab/kota, dan 50 persen kecamatan. Selain itu juga harus memiliki anggota dan keterwakilan perempuan 30 persen.
Setelah mendapatkan status badan hukum di Kemenkumham, sebuah parpol baru bisa mendaftarkan partainya ke KPU sebagai partai politik peserta pemilu. Persyaratannya pun kurang lebih sama dengan syarat untuk mendapatkan status badan hukum di Kemenkumham. Selanjutnya KPU akan melakukan verifikasi baik secara administrasi dan faktual.
Advertisement
Paksaan Jadi Partai Besar
Khoirunnisa menyebut hanya parpol yang sudah memiliki kursi di DPR yang tidak diverifikasi secara faktual oleh KPU. Serangan parpol baru ataupun partai politik yang hanya memiliki kursi di DPRD tetap harus diverifikasi secara faktual dan administrasi. Setelah lolos parpol akan ikut serta dalam kontestasi Pemilu dan berjuang mendapatkan suara publik agar dapat lolos di Senayan.
Berdasarkan pengalaman Pemilu sebelumnya, lanjut dia jarang sekali parpol baru dapat menembus ambang batas parlemen. Jangankan mengenai parlementary threshold verifikasi faktual di KPU dianggap sangat sulit dan seringkali berguguran. Khoirunnisa menilai regulasi di Indonesia juga sangat berat dibandingkan dengan negara lainnya.
"Jadi memang sulit sekali ya saringannya banyak ya di Indonesia, nih dari regulasi itu penyaringnya, mau jadi status badan hukum, sudah menjadi partai politik. Partai-partai yang sekarang saja juga berjuang untuk mempertahankan lolos ke Senayan," kata Khoirunnisa kepada Liputan6.com.
Selain itu Khoirunnisa juga menilai parpol baru di Indonesia ditantang untuk menjadi partai besar secara nasional secara instan. Bukan didorong tumbuh dari bawah atau mulai berkembang dari tingkat kabupaten/kota. Yaitu ketika mereka terbukti mendapatkan kursi dapat mengikuti kontestasi di provinsi dan kemudian ke nasional.
Kemudian sebuah parpol baru diwajibkan harus memiliki modal atau dana besar ketika ingin ikut kompetisi elektoral. Untuk memiliki dana besar seringkali partai baru harus mencari pihak yang dapat mendanainya atau sebagai sumber dana. Misalanya melalui elite partai yang memiliki usaha. Sebab dana yang digunakan sangat besar untuk pembentukan kantor di setiap wilayah.
"Partai politik kita udah ya apa ya sumbangan iuran itu udah pudar saya rasa budaya seperti itu sudah enggak ada di kita beda dengan mungkin tahun 60-an 70-an orang masih mau nyumbang partai dia masih mau iuran ke partaisemakin ke sini semakin memudar. Nah siapa yang bisa membiayai sementara tadi syaratnya harus besar," jelas Khoirunnisa.