Penjelasan Kapolres Cirebon soal Pelapor Dugaan Korupsi Jadi Tersangka

Usai dilakukan pemeriksaan terhadap Nurhayati, ditemukan indikasi keterlibatannya dalam dugaan korupsi tersebut. Atas dasar itu tim penyidik menaikan status Nurhayati dari saksi menjadi tersangka.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 19 Feb 2022, 20:27 WIB
Ilustrasi Kasus Korupsi

Liputan6.com, Jakarta - Kapolres Cirebon AKBP M Fahri Siregar, angkat bicara soal Nurhayati, wanita pelapor dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kepala Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat berinisal S.

Menurut Fahri, kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat terkait korupsi yang diduga dilakukan Kepala Desa Citemu, S.

"Ini berawal dari informasi yang kami dapatkan dari Ketua BPD Desa Citemu dan sumber informasi lainya dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi dilakukan oleh tersangka Supriadi terhadap penggunaaan anggaran APBD 2019-2020," ujar Fahri dalam keterangannya, Sabtu (19/2/2022).

Fahri mengatakan, usai menerima informasi tersebut, tim penyidik Polres Kota Cirebon langsung menindaklanjuti yang kemudian menemukan bukti permulaan cukup menjerat pihak yang harus bertanggungjawab.

"Kami melakukan pengumpulan alat bukti sampai proses penyidikan dan penetapan tersangka Supriadi. Dan kami kirimkan berkas ke jaksa penuntut umum. Setelah berkas diterima oleh JPU, selanjutnya berkas atas nama Supriadi sempat P19 atau dinyatakan tidak lengkap," kata dia.

Lantaran berkas sempat dinyatakan tak lengkap, maka penyidik Polres Cirebon kembali mencari bukti lain. Berdasarkan petunjuk dari tim penuntut umum Kejaksaan Negeri Cirebon, Fahri menyebut pihaknya langsung memeriksa Nurhayati yang merupakan bendahara desa.

Fahri mengatakan, dalam pemeriksaan terhadap Nurhayati, pihaknya menemukan indikasi keterlibatan Nurhayati dalam dugaan korupsi tersebut. Atas dasar itu tim penyidik menaikan status Nurhayati dari saksi menjadi tersangka.

"Kepada saudari Nurhayati dilakukan pemeriksaan secara mendalam karena perbuatan saudari Nurhayati sebagai bendahara keuangan itu termasuk pelanggaran, atau termasuk kategori perbuatan melawan hukum karena perbuatanya tersebut telah memperkaya dari saudara Supriadi," kata dia.


Melanggar Pasal 66 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018

Nurhayati perangkat Desa Citemu Kabupaten Cirebon yang membantu penyelidikan kasus korupsi kepala desa malah ditetapkan jadi tersangka. Foto (tangkapan layar)

Setelah menjerat Nurhayati sebagai tersangka, tim penyidik kembali melimpahkan berkas penyidikan kepada penuntut umum.

"Di dalam hukum acara pidana sudah diatur ada kewajiban penyidik melengkapi petunjuk-petunjuk yang diarahkan oleh JPU. Dan kami memiliki kewajiban untuk melengkapi berkas paling lama 14 hari dari tanggal penerimaan berkas," kata dia.

Fahri menegaskan, penetapan tersangka terhadap Nurhayati sudah sesuai dengan kaidah hukum pidana. Menurut Fahri, sikap kooperatif yang ditunjukkan Nurhayati tak bisa menghapus pidana.

"Walaupun saudari Nurhayati kooperatif dalam memberikan keterangan kepada penyidik, namun tindakan yang dilakukan oleh Nurhayati masuk ke dalam rangkaian terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh saudara Supriadi," kata dia.

Fahri membenarkan bahwa tim penyidik dalam pemeriksaan belum menemukan bukti Nurhayati turut menikmati uang bancakan. Namun, perbuatan Nurhayati yang turut memperkaya kepala desa, itu masuk dalam unsur pidana.

"Walaupun sampai saat ini kita masih belum dapat membuktikan bahwa saudari Nurhayati menikmati uangnya, namun ada pelanggaran yang dilakukan dari saudari Nurhayati, yaitu Pasal 66 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur terkait tata kelola regulasi sitsem administrasi keuangan," kata Fahri.

Menurut Fahri, Nurhayati selaku bendahara desa melakukan kesalahan selama 16 kali. Yakni memberikan langsung uang kepada kepala desa.

"Seharusnya saudari Nurhayati sebagai bendahara keuangan atau paur keuangan seharusnya memberikan uang kepada kaur atau kasi pelaksanaan kegiatan anggaran. Akan tetapi uang itu tidak diserahkan ke kaur dan kasi pelaksana kegiatan namun diserahkan ke kepala desa. Dan kegiatan ini berlangsung selama 16 kali, atau selama 3 tahun dari tahun 2018, 2019, dan 2020," kata Fahri.

"Sehingga tindakannya tersebut dapat merugikan keuangan negara dan tentunya ini melanggar Pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo 55 KUHP," jelasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya