Liputan6.com, Jakarta - Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa ekonomi dunia belum akan melaju kencang dalam dua tahun ke depan. Hal ini karena pandemi Covid-19 masih akan membayangi di sejumlah negara terutama yang tingkat vaksinasinya belum tinggi.
"Ekonomi global diperkirakan akan melambat 2022 dan 2023," kata Suharso dalam Diskusi Publik: Kinerja Pertumbuhan Ekonomi di Masa Pandemi, Jakarta, Senin (21/2/2022).
Suharso mengatakan perlambatan ekonomi ini direspon China dengan mempercepat penggunaan energi baru terbarukan di negeri tirai bambu tersebut. Pengalihan energi baik ekonomi hijau (green economy) maupun ekonomi biru (blue economy).
Dengan adanya penggunaan energi baru terbarukan ini akan mengkalibrasi jenis pekerjaan baru. Dalam waktu bersama ada risiko keuangan yang membayangi perusahaan padat karbon. Perusahaa tersebut akan mengalami instabilitas dan menghadapi kerentanan likuiditas.
"Mereka (China) ini mempercepat capaian net zero emission yang cepat dengan menggunakan perkembangan teknologi mereka," kata dia.
Di sisi lain, risiko perlambatan ekonomi global juga disebabkan oleh tingkat inflasi di Amerika Serikat yang sudah mencapai 7,5 persen. Tingkat pengguran juga mencapai 4 persen dan adanya rencana tappering iff dari The Fed tahun ini.
"Tapering off akan menarik banyak dolar AS yang berada dunia," kata Suharso Monoarfa.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak ke Indonesia
Kondisi global tersebut kata Suharso masih bisa diatasi Indonesia. Mengingat saat ini kepemlihan surat utang dari dana asing sudah mulai berkurang. Dari sebelumnya 39 persen tinggal 19 persen. Di sisi lain, jumlah dana asing yang kabur dari Indonesia sudah mencapai USD 11 miliar.
"Sudah sekitar USD 11 miliar capital out flow, jadi mudah-mudahan kita bisa lebih tahan menghadapi perkembangan The Fed," kata dia.
Suharso mengatakan pemulihan ekonomi tidak cukup dilakukan dengan cara yang digunakan sekarang. Sebab di tengah disrupsi penggunaan teknologi telah mengancam 24 juta orang kehilangan pekerjaan.
Sudah ada 24 juta pekerja yang kehilangan pekerjaan tapi di saat yang sama ada jenis pekerjaan baru," katanya.
Sehingga dibutuhkan peta jalan perekonomian yang menyesuaikan dengan kondisi terkini. Agar target pertumbuhan ekonmi di atas 5 persen tahun ini bisa tercapai.
"Untuk mengatasi dampak sistemik ini kita harus redesain transformasi ekonomi, bukan untuk kembali ke kondisi sebelum krisis tapi agar bisa menjawab berbagai tantangan," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement