Liputan6.com, Brussel - Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, menyampaikan kecaman kepada Rusia yang mengakui kedaulatan wilayah separatis Ukraina. Tindakan Rusia juga dianggap mempersiapkan invasi.
Dua daerah separatis itu adalah Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang berada di sisi timur Ukraina. Stoltenberg berkata pengakuan kedaulatan itu melanggara Kesepakatan Minsk yang disetujui pada 2014 dan 2015 mengenai Ukraina.
Baca Juga
Advertisement
"Pada 2015, Dewan Keamanan PBB, yang termasuk Rusia, menegaskan kehormatan kepada kedaulatan, independensi, dan integritas wilayah Ukraina. Donetsk dan Luhansk adalah bagian dari Ukraina," ujar Jens Stoltenberg melalui situs resmi NATO, dikutip Selasa (22/2/2022).
Mantan perdana menteri Norwegia itu juga menyorot tindakan Rusia yang terus memberikan bantuan finansial dan militer kepada para separatis. Pihak NATO lantas menyerukan agar Rusia segera menarik mundur pasukan.
"Sekutu mendorong Rusia dengan istilah-istilah paling tegas untuk memilih jalan diplomasi, dan segera membatalkan persiapan militernya yang masih di dan sekitar Ukraina, dan menarik mundur pasukannya dari Ukraina berdasarkan tanggung jawab dan komitmen interasionalnya," ujar Sekjen NATO.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
AS Akan Setop Akses Dolar Jika Rusia Tetap Menyerang Ukraina
Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat dan Inggris akan berusaha menghentikan akses perusahaan-perusahaan Rusia ke dolar AS dan paun Inggris jika Kremlin memerintahkan invasi ke Ukraina.
Hal itu disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kepada BBC sebagaimana diwartakan Reuters, dikutip dari Antara (21/2).
Invasi Rusia ke Ukraina akan menjadi perang terbesar di Eropa sejak 1945, kata Johnson.
Dia mengatakan jika invasi terjadi, sanksi terhadap Rusia akan jauh lebih berat daripada yang selama ini diketahui oleh publik.
Inggris dan AS, kata Johnson, akan menghentikan perusahaan-perusahaan Rusia melakukan "transaksi dalam paun dan dolar".
Langkah itu dinilai Johnson akan "menghantam sangat sangat keras" dengan dampak yang ditimbulkannya, menurut laporan BBC.
Advertisement