Blunder Jokowi, Kartu BPJS Kesehatan Jadi Syarat Segala Urusan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan mandat bahwa Kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam berbagai layanan publik.

oleh Arief Rahman H diperbarui 22 Feb 2022, 13:40 WIB
Sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19, dilakukan penyemprotan disinfektan pada seluruh fasilitas kantor di Jalan Karya, Medan Barat, sejak Sabtu, 11 Juli 2020.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan mandat bahwa Kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam berbagai layanan publik. Mulai dari bikin SIM, urus STNK, hingga jual beli tanah. Tentu ini menjadikan Kartu BPJS Kesehatan sebagai 'Kartu Sakti' yang wajib dimiliki masyarakat Indonesia.

Kebijakan ini mengundang banyak pro dan kontra. Seperti yang disampaikan Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita.

Bahkan, bagi Ronny, kebijakan mewajibkan kartu BPJS Kesehatan ini blunder, menjadi mimpi buruk pelaku investasi dan industri di sektor asuransi. Menurutnya, kebijakan mandatori ini sebagai bagian dari penyelamatan keuangan BPJS Kesehatan.

"Strategi pemerintah dalam menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan (JKN) dengan menerapkan kebijakan mandatory keanggotaan JKN bagi pengguna beberapa layanan penting pemerintah adalah kebijakan gegabah, bahkan konyol," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (22/2/2022).

Ronny memaparkan, pertama, kebijakan seperti ini dari sisi layanan publik justru menjadi kebijakan yang sangat diskriminatif. Hanya berlaku bagi pemegang kartu anggota BPJS Kesehatan di tengah bejibun pelaku pasar yang berkategori sama.

 


Diskriminatif

Pegawai melayani peserta BPJS Kesehatan di Kantor Cabang Kota Tangerang, Rabu (7/1/2020). Iuran BPJS Kesehatan resmi naik per hari ini untuk kelas I menjadi sebesar Rp150.000 per orang per bulan dan Rp100.000 per orang per bulan untuk kelas II. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kedua, selain diskrimintif dari sisi layanan publik, kata Ronny, juga menjadi kebijakan yang sangat monopolistik dari sisi ekonomi. Secara tidak langsung, pemerintah sedang menyingkirkan pelaku usaha yang sama yang bukan badan usaha milik negara.

"Pemerintah tidak lagi sebagai regulator sekaligus menjadi salah satu pemain, tapi berubah menjadi pengatur dan pemain satu-satunya," ucapnya.

Ketiga, menurut Ronny, dengan kebijakan ini, pemerintah sedang menebar racun ke dalam ekosistem investasi sektor finansial, terutama asuransi kesehatan. Pemerintah dianggap main kekuasaan tanpa memikirkan imbasnya pada BPJS Kesehatan sendiri di satu sisi dan ekosistem bisnis asuransi nasional di sisi lain.

"Dari sisi BPJS Kesehatan sendiri, ada begitu banyak keluhan selama ini walau hanya menguasai sebagian pasar. Lantas bagaimana jika mendadak secara tidak langsung dipaksa menjadi pemain satu-satunya alias pemain tunggal. Perusahaan ini akan semakin kewalahan dan akan semakin rentan pada penyakit kronis KKN karena tidak memiliki kompetitor," paparnya.

 


Ancam Industri Asuransi

Ilustrasi asuransi (Gambar oleh kalhh dari Pixabay)

Sementara dari sisi ekosistem investasi financial, Ronny melanjutkan, lampu kuning akan menyala bagi para pelaku dan calon pelaku usaha asuransi.

Negara dianggap berkemampuan mengintervensi pasar, bahkan mengacak-ngacak pasar, kapanpun dan dengan skala tak terbatas, atas nama satu perusahaan negara. Sinyal peringatan yang sangat kuat bagi industri keuangan untuk berhitung ulang tetap bertahan dan berinvestasi di Indonesia.

"Bahkan bukan hanya pada industri keuangan seperti asuransi, kekhawatiran bahkan bisa melebar ke semua ekosistem investasi. Pemerintah juga akan dianggap berpeluang untuk memaksa penumpang moda transportasi udara untuk membeli tiket Garuda, naik Kereta Api, memakai jasa laut Pelni, membuka rekening bank BUMN, transaksi saham di perusahaan sekuritas pelat merah, dan seterusnya," pungkasnya.


Diklaim Tak Akan Memberatkan

Petugas melayani warga yang mengurus iuran BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta, Senin (4/11/2019). Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia memprediksi akan terjadi migrasi turun kelas pada peserta akibat kenaikan iuran 100 persen pada awal 2020. (merdeka.com/Arie Basuki)

Terkait syarat jual beli tanah yang harus melampirkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, hal itu dinilai tidak memberatkan.

Apalagi untuk mendaftar menjadi peserta JKN juga cepat, bahkan pengecekan kepesertaan dapat dilakukan mandiri dengan menggunakan aplikasi Mobile JKN. Penggunaan teknologi ini menjadi besutan inovasi BPJS Kesehatan untuk mempermudah layanan mengakses JKN.

 

"Ini cepet sekali mengecek, karena kurang dari 3 menit kita tahu, (kepesertaan) aktif atau tidak. Jadi, sekarang BPJS Kesehatan banyak perubahan," terang Ghufron melalui keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 21 Februari 2022.

"Ya, bisa menggunakan aplikasi Mobile JKN. Di situ, tinggal dibuka lalu ada gambar kartu diklik gitu sudah tercatat secara digital, bisa discreen shoot untuk kriim email. Kurang dari 3 menitlah, disebut membebani birokrasi itu enggak."

Untuk menjadi kepesertaan JKN BPJS Kesehatan pun sudah ada aturan kewajiban. Ini termaktub dalam Undang-Undang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Nomor 40 tahun 2004 Pasal 18, yang diperkuat Perpres 82 Tahun 2018.

"Orang beli tanah jelas orang mampu. Kok, belum jadi peserta. Padahal, kan wajib kita saling gotong royong. Kewajiban ini sendiri sudah lama," lanjut Ghufron.

"Tentunya, dalam rangka meningkatkan warga ikut masuk menjadi peserta JKN."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya