Ternyata RI Pernah Swasembada Kedelai di 1992, Kenapa Sekarang Tidak Bisa?

Berdasarkan data Kementan, produksi kedelai Indonesia pada tahun 2021 hanya 200 ribu ton. Indonesia pernah swasembada kedelai di 1992.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Feb 2022, 13:31 WIB
Perajin tempe di Cirebon mengaku pemilihan kedelai impor karena cocok dan tahan lama dibandingkan kedelai lokal. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementerian Pertanian (Kementan) Yuris Tiyanto mengungkapkan Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai. Itu terjadi pada 1992.

Namun kini, dia mengungkapkan tren produksi kedelai di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun.  "Tahun 1992 itu kita pernah swasembada kedelai, tapi sekarang menurun drastis," kata dia melansir Antara, Selasa (22/2/2022).

Penurunan produksi disebut-sebut dikarenakan banyak petani kedelai yang beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang menanam kedelai.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia pada tahun 2021 hanya 200 ribu ton. Sementara permintaan kedelai untuk memproduksi tahu tempe sekitar 1 juta ton per tahun.

Pada tahun 2022 Kementerian Pertanian menargetkan produksi 1 juta ton kedelai di atas lahan seluas 650 ribu hektare.

Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan lahan seluas 52 ribu hektare kepada petani untuk ditanami kedelai, sementara 598 ribu hektare sisanya akan dibiayai melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menurut dia, sejatinya kedelai lokal memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan kedelai impor yaitu kandungan gizi yang lebih tinggi dan organik.

"Memang betul kalau kedelai kita itu kandungan gizinya tinggi. Yang kedua kita non-GMO (Genetically Modified Organis), itu non-transgenik. Kedelai luar itu kan GMO, ini yang tidak banyak diceritakan," kata Yuris.

Yuris menjelaskan GMO atau transgenik adalah rekayasa genetik yang dilakukan pada suatu tanaman untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Sementara produk kedelai lokal seluruhnya organik.

"Transgenik itu ada rekayasa genetika, tapi kalau kedelai kita tidak ada rekayasa genetik, organik. Menurut saya itu lebih sehat sebetulnya," kata Yuris.

Kandungan gizi yaitu protein yang lebih tinggi dan metode penanaman yang organik membuat kedelai lokal memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan kedelai impor.

Itulah yang menjadi alasan mengapa rasa tempe dan tahu di sentra produksi kedelai seperti Jawa Tengah memiliki rasa yang lebih gurih dibandingkan tahu dan tempe yang diproduksi dari kedelai impor.

Selain kelebihan tersebut, Yuris mengatakan kedelai lokal juga memiliki kelemahan yaitu hasil panen yang tidak terstandar.

Dia mengakui bahwa banyak petani kedelai yang memanen kedelai yang masih hijau sehingga produk akhirnya bercampur antara kedelai yang hijau dan kuning.

 


Kementan Targetkan Produksi 1 Juta Ton Kedelai, tapi APBN Tak Cukup

Harga kacang kedelai yang masih bertahan di atas Rp 11.200 per kilogram (kg) cukup membebani para pengrajin, di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 saat ini. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Penjualan tempe dan tahu di pasaran kini tengah terganggu, lantaran harga kedelai impor alami lonjakan. Mengatasi kondisi ini, Kementerian Pertanian (Kementan) target produksi kedelai lokal 1 juta ton pada 2022.

Guna mengejar target tersebut, Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementan Yuris Tiyanto menyatakan, pihaknya berencana melakukan peningkatan penanaman kedelai pada puncak musim tanam, yakni per periode April-Juni.

Selain itu, luas area tanam kedelai lokal juga akan ditingkatkan, sehingga total menjadi 650 ribu ha di tahun ini.

"Untuk mengejar itu, kami sudah merencanakan untuk peningkatan penanaman mulai dari bulan April-Juni. Pada bulan-bulan itu kita ditarget (tanam di) 300 ribu ha. Kemudian sisanya akan dicapai Juli-Oktober," terangnya kepada Liputan6.com, Senin (21/2/2022).

Sayangnya, keterbatasan alokasi APBN Kementan jadi kendala. "Hanya masalahnya, untuk menanam itu dari APBN tidak ada," sebut Yuris.

Sehingga Kementan akan mengkolaborasikan dana pemerintah dengan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) bunga 6 persen yang diusulkan petani.

"Jadi kami harus mencari dari dana Kredit Usaha Rakyat (KUR). Untuk mencari dana KUR ini, kami menggandeng obsteker yang beli barang dari petani," kata Yuris.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya