Oleh: Didin Nasirudin, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi Politik Universitas Jayabaya dan Pemerhati Politik Amerika Serikat
Liputan6.com, Jakarta - Ukraina, negara terbesar kedua di Eropa setelah Rusia, kini di ambang perang. Tidak kurang dari 150.000 tentara Rusia dengan dukungan artileri lengkap siap menginvasi negara yang dipimpin oleh presiden Volodymyr Zelensky tersebut. Tentara Rusia bahkan sudah mulai masuk ke wilayah Ukraina di sebelah timur yang memisahkan diri yakni Donetsk dan Luhansk.
Advertisement
Pemicu Krisis: Masalah Pribadi dan Obsesi Putin Akan Kejayaan Rusia
Menurut analisis majalah Time, mobilisasi tentara Rusia di wilayah perbatasan Rusia-Ukraina telah dimulai sejak Februari 2021, ketika pemerintah Zelenzky menyita aset-aset milik keluarga Viktor Medvedchuk, pebisnis yang juga ketua partai oposisi terbesar, Ukrainian Choice, yang pro-Rusia.
Medvedchuk telah menjadi teman dekat presiden Rusia Vladimir Putin selama puluhan tahun. Putin bahkan menjadi ayah baptis dari anak bungsu Medvedchuk, Daria (Daryna), yang lahir pada 2004.
Terlepas dari aksi penyitaan aset dan penahanan Medvedchuk oleh Zelensky sebagai pemicunya, menurut mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Eropa, Deniel Fried, dan mantan Duta Besar AS untuk NATO, Kurt Volker, di POLITICO Magazine, ancaman invasi Ukraina oleh Rusia merupakan bagian dari upaya Putin untuk mengembalikan kebesaran Rusia seperti yang dijanjikannya saat mulai menjabat sebagai presiden pada tahun 2000.
Tujuh tahun kemuudian, menurut kedua mantan pejabat senior AS tersebut, dalam ajang Munich Security Conference di Jerman pada 2007, Putin menuduh AS tengah berupaya menciptakan sebuah dunia ‘unipolar’ yang menjadikannya sebagai penguasa tunggal.
Sebagai mantan pejabat KGB yang meniti karir di masa kejayaan Uni Soviet, Putin pantas kecewa. Sebelum resmi bubar pada 31 Desember 1991, Uni Soviet adalah sebuah negara kesatuan raksasa yang terdiri dari 15 negara bagian yakni Rusia sebagai negara bagian terbesar, kemudian Ukraina, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Selain itu, Uni Soviet menguasai sejumlah negara satelit seperti Polandia, Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, Yugoslavia, Bulgaria, Albania dan Jerman Timur, serta memiliki pengaruh di berbagai belahan dunia.
Sekarang apa yang terjadi? Sebelas negara bekas Uni Soviet dan negara satelitnya-- Estonia, Latvia, Lithuania, Slovenia, Kroasia (pecahan Yugoslavia), Montanegro (pecahan Yugoslavia), Makedonia Utara (pecahan Yugoslavia) Republik Ceko (pecahan Cekoslowakia), Slowakia (pecahan Cekosloawakia), Albania, dan Hungaria—malah menjadi anggota NATO.
Tiga negara bekas Uni Soviet dan pecahan negara satelitnya, Ukraina, Georgia dan Bosnia-Herzegovina, juga sudah menyatakan niatnya untuk menjadi anggota NATO.
"Perebutan pengaruh di Eropa bagian Timur dan Tengah adalah persoalan inti dari perseteruan negara-negara Barat (AS dan Uni Eropa) dengan Rusia terkait Ukraina," kata professor Michael Kimmage, pakar hubungan AS-Rusia dari Catholic University of America, kepada CNN.
Menurut Kimmage, AS memandang seluruh negara Eropa termasuk negara-negara bekas Uni Soviet dan satelitnya sebagai negara-neara berdaulat yang bebas membuat keputusan sendiri dalam hal keamanan, perdagangan, aliansi, dll.
Sebaliknya, Rusia merasa memiliki ‘zona privilase’ di sepanjang perbatasan bagian barat negaranya sehingga berhak punya pengaruh dan wibawa di wilayah tersebut, termasuk melalui pengerahan kekuatan militer.
Dan fakta menunjukkan, sebelum adanya upaya invasi ke Ukraina seperti dituduhkan oleh AS dan sekutunya di Eropa, Rusia sudah menanamkan pengaruh di sejumlah negara bekas Uni Soviet melalui pembentukan CSTO (Collective Security Treaty Organization) yang beranggotakan Rusia, Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan, serta membangun kekuatan militer di Moldova, Ossetia Selatan dan Abkhazia yang merupakan wilayah Georgia yang diduduki militer Rusia pasca perang Rusia-Georgia pada 2008, dan Crimea, wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia pada 2014.
Reaksi Keras Biden, Solidnya NATO dan Pelajaran dari Sejarah Sempat Surutkan Niat Putin
Jadi kalau kita melihat peta perbatasan Rusia bagian barat, Ukraina memang layak menjadi sasaran penguasaan Rusia berikutnya. Tapi reaksi keras dari AS dan Uni Eropa terhadap mobilisasi tentara dengan persenjataan lengkap di perbatasan bisa jadi membuat Putin memikirkan kembali keputusannya untuk melakukan invasi militer.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya seruan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov kepada presiden Putin untuk melanjutkan pembicaran diplomatik dengan para pemimpin AS dan Uni Eropa.
Menurut para pakar dan pengamat, sikap Rusia melunak setelah melihat solidnya para anggota NATO di bawah komando AS yang kini dipimpin Joe Biden, seorang politisi senior dengan pengalaman politik luar negeri yang sangat matang.
Terlebih lagi, ancaman AS bahwa Rusia akan menghadapi sanksi luar biasa besar yang menurut Reuters meliput larangan ekspor teknologi AS ke Rusia dan sanksi khusus bagi para bilioner Rusia, serta pemutusan dolar Amerika dari bank-bank Rusia—ditambah sanksi dari Uni Eropa yang hingga saat ini masih di digodok—bisa menimbulkan kekacauan besar di dalam negeri Rusia yang dipicu nilai tukar mata uang rubel yang anjlok tajam.
Jadi akankah drama ancaman invasi Ukraina oleh Rusia segera berakhir dengan damai?
"Kita berharap Putin belajar dari sejarah dan memahami bahwa sebuah invasi militer kerap tidak berjalan seperti diharapkan," kata Frida Ghitis, world affair columnist CNN.
Ghitis mencontohkan kegagalan Tentara Merah Uni Soviet menumpas pasukan Mujahiddin Afghanistan yang didukung AS, hingga Soviet terpaksa meninggalkan Afghanistan setelah 9 tahun berperang. Menurut Ghitis, invasi AS terhadap Afghanistan pasca 9/11 pada 2001 dan terhadap Irak pada 2003 yang diperkirakan akan berakhir singkat tapi kemudian menjadi perang abadi—AS baru mundur dari Afghanistan Agustus 2021 dan hingga hari ini 2500 tentara AS masih bercokol di Irak—menunjukkan bahwa jalannya perang selalu tidak bisa diprediksi.
Pakar strategi dan peramal geopolitik George Friedman sependapat dengan Ghitis. "Pendudukan sebuah negara oleh negara lain sangat sulit dan memakan waktu, bahkan tidak ada perlawanan sama sekail (dari tantara dan rakyat negara yang diduduki)," kata Friedman dalam Geopolitical Futures.
Friedman menyebut ukuran fisik negara yang diduduki, ketidaksempurnaan data intelijen tentang kekuatan musuh dan masalah logistik (tantara perlu makan, kendaraan militer perlu perawatan dll.) sebagai faktor-faktor utama yang bisa membuat perang menjadi berlarut-larut. Friedman yakin, kerumitan dalam tahapan-tahapan aksi militer dan pengalaman Rusia sendiri di masa Perang Dunia II membuat invasi Rusia terhadap Ukraina tidak menarik dan tidak masuk akal.
"Rusia terkenal dengan para pecatur handal. Tapi ada kalanya langkah grandmaster catur paling jago dengan langkah-langkah awal yang mengesankan sekalipun bisa mentok, sehingga dia harus mengubah strategi," kata David Ignatius, foreign affair columnist, The Washington Post.
Dalam krisis Ukraina, menurut Ignatius, Putin sebagai mantan pejabat intelijen yang dengan kekuatan militer ingin menguasai Ukrainia dan merevisi aturan-aturan Eropa dalam hal keamanan, merasakan strateginya mentok ketika berhadapan dengan Biden yang berani membeberkan aktivitas intelijen Rusial kepada publik. Biden juga mampu mempersatukan para anggota NATO sehingga bisa memberi tekanan luar biasa besar kepada institusi keuangan dan sejumlah industri penting Rusia jika invasi Ukraina dilanjutkan.
"Meskipun langkah pembukaanya sangat mengintimidasi, Rusia mungkin tidak akan menang dalam ‘permainan panjang’ dengan negara-negara Barat yang nampaknya sudah bersatu melawan agresi Rusia," kata Ignatius.
Apalagi kekompakan NATO menghadapi Rusia dalam krisis Ukraina mendapat dukungan luas dari publik Eropa. Poling yang digelar oleh Euroskopia (aliansi riset media sosial dan perusahaan-perusahaan media di Eropa) di 8 negara Uni Eropa dan diumumkan oleh POLITICO pada 16 Februari 2022 mengungkapkan, 74% responden berharap Uni Eropa membela Ukraina terkait ancaman serangan dari Rusia, dengan 47% responden hanya mengingingkan aksi diplomasi, 20% mengatakan Uni Eropa harus mempertimbangan langkah-langkah militer defensif dan 7% mengatakan perlunya tindakan militer di Rusia.
Dengan kompaknya NATO, satu suaranya masyarakat Uni Eropa dalam kasus Ukraina dan besarnya tekanan berat yang akan dihadapi di dalam negeri jika invasi Ukraina tetap dijalankan, Rusia diperkirakan akan perlahan menarik tentaranya dari perbatasan Ukraina-Rusia dan kembali ke jalur diplomasi.
Sasaran Baru Putin: Politik Dalam Negeri AS—A New Form of Russian Election Interference
Tapi krisis Ukraina memberi sebuah harapan besar bagi Putin: Partai Republik menguasai DPR dan Senat pada midterm elections November 2022 dan Donald Trump terpilih kembali menjadi presiden pada dalam pilpres 2024.
Poling-poling saat ini memang menunjukkan job approval Biden berada di zona bahaya yakni -15% berdasarkan agregat poling yang dikumpulkan oleh FiveThirtyEight. Poling POLITICO /Morning Consult pada awal Februari 2022 juga menunjukkan hanya 39% masyarakat AS mendukung langkah-langkah Biden dalam menangani konflik di Ukraina dan 40% responden menentang.
Bandingkan dengan invasi AS atas Afghanistan pada 2001 yang didukung oleh 88% publik AS berdasarkan poling CNN/Gallup/USA Today. Juga 79% masyarakat AS mendukung serangan darat pasukan AS di Irak pada 2003 menurut poling CNN/Gallup/USA Today.
Kimmage dalam wawancara terbarunya dengan CNN menyebut 3 skenario bisa terjadi di Ukraina di masa yang akan datang. Pertama, invasi total Rusia dengan hasil akhir berupa penggantian Zelensky oleh rezim pro-Rusia, Ukraina yang terpecah belah dengan sebagian besar menjadi bagian atau wilayah satelit Rusia, atau Ukraina dipaksa berdamai dan mau didikte oleh Rusia.
Kedua, terjadi salami slice yakni Rusia tidak melakukan invasi tapi terus melancarkan serangan siber terhadap Ukraina dan tantara Rusia terus merangsek sehingga wilayah yang didudukinya terus bertambah.
Ketiga, tekanan permanen yakni tantara Rusia terus berada di wilayah perbatasan hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Situasi ini menciptakana ketegangan dan ketidakpastian jangka panjang yang bisa memecah belah negara-negara anggota NATO. Jerman, misalnya, bisa saja terpaksa melanjutkan program suplai gas dari Rusia, Nord Stream 2, akibat tekanan di dalam negeri.
Ketiga skenario itu sama-sama mengancam kepresiden Biden dan masa penguasaan Partai Demokrat di Kongres AS. Tidak mustahil krisis Ukraina bisa menjatuhkan Biden seperti halnya krisis Iran membuat Jimmy Carter gagal berkuasa dua periode.
Kalaupun yang terjadi di Ukraina hanya salami slice atau tekanan permanen di perbatasan yang diikuti perpecahan NATO, kredibilitas Biden dan tim kebijakan luar negerinya semakin dipertanyakan setelah sebelumnya dianggap gagal di Afghanistan dan akibatnya favorability rating Biden jatuh bebas.
Ketidakpastian yang berkepanjangan di Ukraina juga bisa pasar bergejolah, harga BBM dan berbagai kebutuhan hidup di dalam negeri AS naik. Akibatnya Biden dan Partai Demokrat akan semakin sulit memulihkan perekonomian dan membuka lapangan kerja pasca pandemi dengan menekan angka inflasi agar tetap rendah.
Jika invasi yang diikuti oleh sanksi dari AS dan Uni Eropa terhadap Rusia benar-benar terjadi, menurut Matt Egan dari CNN Business, harga minyak naik tajam hingga mencapai US$120 – US$150 per barrel, dari hanya sekitar US$90 dolar saat ini. Tidak bisa dihindari, harga BBM di AS akan melonjak.
Kenaikan harga minyak, menurut Egan, membuat laju inflasi di AS akan naik dari 7.5% saat ini menjadi lebih dari 10%, tertinggi dalam lebih dari 30 tahun. Pasar juga akan mengalami turbulensi, pertumbuhan ekonomi akan melambat dan suku bunga bank akan naik demi menekan inflasi. Ancaman serangan siber terhadap sektor publik dan swasta AS juka diperkirakan akan meningkat.
Laju inflasi 10% jika ditambah dengan angka pengagguran saat ini yang mencapai 4% berarti Misery Index mencapai 14% atau lebih tinggi dari Misery Index rata-rata sebesar 13,58 di tahun 1980, ketika Jimmy Carter menjadi presiden satu periode karena kalah sangat telak oleh Ronald Reagan dengan perolehan 49 vs. 489 suara elektoral.
Poling-poling saat ini juga membawa kabar buruk bagi Partai Demokrat dan Biden. Agregat poling generic ballot yang memberi indikasi partai pemenang midterm elections juga menunjukkan Partai Republik unggul +2.4% menurut FiveThirtyEight dan +3.8 menurut RealClearPolitics, yang berarti Partai Republik diprediksi menguasai suara mayoritas di DPR dan mungkin juga di Senat setelah midterm elections 8 November 2022.
Peluang Trump untuk berkuasa kembali juga sangat besar. Pertama, menurut poling CBS News/YouGove pada 8-11 Februari 2022, 69% pemilih Partai Republik menginginkan Trump maju kembali di pilpres 2024. Kedua, Trump unggul +2% dari Biden dalam favorability rating (tingkat kesukaan pemilih) versi RealClearPolitics. Ketiga, poling Harvard CAPS/Harris yang digelar pada 19-20 Januari 2022—atau sebelum Ukraina menjadi isu besar--menunjukkan Trump akan mengalahkan Biden sebesar 6 poin (46% vs. 40%) jika pilpres digelar hari ini.
Wajah Baru AS dan Terciptanya Tatanan Geopolitik Baru
Dan kemenangan Trump—yang terkenal sebagai sosok pemuja para diktator dan sinis terhadap NATO karena dianggap usang dan cenderung memanfaatkan kekuatan finansial dan militer AS—adalah kemenangan bagi Putin.
"Seandainya Trump menjadi presiden AS pada tahun 1949, NATO tidak akan pernah terbentuk. Jika dia berkuasa lima (sic) tahun lagi, NATO tidak akan survive," kata Max Boot, kolumnis konservatif di The Washington Post.
Lebih jauh, Thomas Homer-Dixon, executive director di Cascade Institute at Royal Roads University, Kanada, dalam kolom opininya dalam Globe and Mail pada 31 Desember 2021 mengungkapkan ramalan menakutkan tentang AS jika Trump berkuasa kembali.
Pakar di bidang konflik kekerasan yang selama 40 tahun meneliti dan menulis tentang perpecahan sosial, revolusi, kekerasasan dan pembantaian etnis ini meramalkan bahwa pada 2025 demokrasi AS akan kolaps dan paling lambat tahun 2030, AS akan diperintah oleh kediktatoran sayap kanan.
Pertama-tama, menurut Homer-Dixon, Partai Republik akan menguasai DPR dan Senat AS, dipicu oleh kemarahan publik atas inflasi yang tinggi, pandemi yang tidak kunjung berakhir dan krisis demi krisis yang terjadi di era Biden.
"Ketika Partai Republik menguasai Kongres AS, Partai Demokrat akan kehilangan kontrol terhadap agenda politik nasional, sehingga memberi peluang bagi Trump untuk berkuasa pada 2024," kata Homer-Dixon.
Setelah itu, kata Homer-Dixon, Trump akan mengganti para pimpinan sipil di Departemen Pertahanan dan Gabungan Kepala-Kepala Staf AS dengan kroni dan pengikut setianya sehingga departemen pertahanan dan angkatan bersenjata akan bekerja sesuai arahan Trump.
Trump kemudian, akan menjadi sosok seperti presiden Hungaria Victor Orban yang memerintah menggunakan perangkat hukum "Illiberal Democracy" yang menindas atau presiden Brazil Jail Bolsonaro yang pemerintahannya sarat dengan konflik sosial dan disfungsi administrtatif.
Kemungkinan yang lebih buruk lagi, Trump bisa menjadi sosok mirip dengan Putin, presiden otoriter hiper-nasionalis yang keras dan selalu bertindak sekehendak hati.
Sejarah mencatat banyak kejadian atau perubahan besar di dunia yang diawali oleh insiden yang bersifat ordinary atau biasa-biasa saja.
Jadi bukan tidak mungkin the real endgame dari ketegangan di Ukraina—yang sebenarnya peristiwa 'biasa' di perbatasan dengan Rusia--adalah terciptanya sebuah tatanan geopolitik baru yang diatur oleh 'dwitunggal' penguasa dunia, Putin dan Trump!
Advertisement