Kemenag: Aturan Pengeras Suara Masjid untuk Rawat Kebinekaan

Adib mengatakan, pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala diberlakukan untuk merawat kebinekaan dan juga kerukunan di masyarakat.

oleh Yopi Makdori diperbarui 22 Feb 2022, 17:54 WIB
Jemaah melaksanakan ibadah salat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (11/2/2022). Di tengah lonjakan kasus Covid-19 di DKI, Masjid Istiqlal melakukan pembatasan jumlah jemaah maksimal 50 persen serta jam operasional pengunjung untuk shalat. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag RI, Dr Adib mengatakan, terbitnya pedoman itu demi merawat harmoni antarmasyarakat.

"Untuk merawat persaudaraan, harmoni dan kohesi sosial. Dua hal itu tadi yang harus kita seimbangkan. Bagaimana kita menjadikan masjid musala sebagai tempat syiar agama di satu sisi," katanya dalam sebuah webinar, Selasa (22/2/2022).

Di samping, Adib melanjutkan, pedoman itu guna merawat kebhinekaan dan juga kerukunan di masyarakat. "Dalam bahasa lebih detail menjaga ketertiban, kenyamanan dan keharmonisan," tekan dia.

Menurut Adib, struktur masyarakat Indonesia dibangun atas perbedaan. Di mana heterogenitas dalam agama adalah pemandangan biasa. Hadirnya aturan itu guna merawat persaudaraan di tengah warga.

Seperti diketahui, Kasus protes terhadap pengeras suara masjid tercatat pernah terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah yang dialami Meiliana. Wanita warga Medan, Sumatera Utara itu mendekam di penjara karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggap terlalu keras.

Tak tanggung-tanggung, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis hukuman 18 bulan kepada ibu rumah tangga ini. Oleh Jaksa, Meiliana bahkan ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, pada 30 Mei 2018 dan mendakwanya dengan Pasal 156 dan 156a KUHP.

 


Sempat Terjadi Kerusuhan

Tahun 2016 menjadi awal kasus volume pengeras suara masjid di Medan mencuat ke permukaan. Karena merasa terganggu dengan pengeras suara masjid, wanita etnis Tionghoa yang beragama Buddha itu meminta kepada pengurus masjid untuk mengecilkan volumenya.

Pernyataan tersebut sontak menyulut emosi warga hingga sempat terjadi kerusuhan. Vihara dan klenteng di Tanjung Balai dibakar. MUI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengatakan Meiliana telah melakukan penistaan agama.

Melihat kasus ini, publik Tanah Air bersuara. Tidak hanya datang dari masyarakat umum, namun sejumlah pejabat negara hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap tak seharusnya hukuman pidana dijatuhkan karena curhat soal pengeras suara azan di masjid yang terlalu keras.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya