Ekonom: Pengawasan Distribusi Minyak Goreng Harus Diperketat

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai pengawasan terhadap distribusi minyak goreng harus diperketat.

oleh Tira Santia diperbarui 23 Feb 2022, 10:30 WIB
Warga antre saat hendak membeli minyak goreng murah di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Kamis (3/2/2022). Dalam operasi ini harga minyak goreng dijual Rp 10.500 per liter atau Rp 11.700 per kilogram. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai pengawasan terhadap distribusi minyak goreng harus diperketat.

Upaya ini perlu dilakukan mengingat disparitas harga antara Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan keekonomian harga minyak goreng cukup besar.

“Menurut saya, kebijakan Harga Eceran Tertinggi dapat saja dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga harga tetap rendah. Namun, kebijakan ini perlu didukung oleh ketersediaan pasokan dan pengawasan yang ketat akibat disparitas harga yang tinggi antara HET dengan Harga Keekonomian untuk mencegah penimbunan,” jelas Josua kepada Liputan6.com, Rabu (23/2/2022).

Sementara ini, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) memang harga minyak goreng secara perlahan sudah turun.

Tapi, faktor ketersediaan pasokan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian Perdagangan, karena beberapa tempat mengalami kelangkaan minyak goreng.

Josue menyebut, penerapan HET memang memiliki potensi dampak negatif terhadap supply minyak goreng dalam negeri. Pada dasarnya, produksi minyak goreng tentu memiliki biaya bahan baku, yakni CPO yang saat ini sedang tinggi di pasar internasional sehingga biaya bahan baku pun mengalami kenaikan.

 


Pengusaha Rugi

Pedagang menunjukkan minyak goreng curah di pasar tradisional, Pondok Labu, Jakarta, Rabu (2/2/2022). Minyak goreng masih dijual dengan harga tinggi karena menghabiskan stok lama yang ada. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Namun, dengan HET, harga jual minyak goreng tersebut diatur oleh pemerintah sehingga harga jual berpotensi tidak menutup biaya produksi dari minyak goreng.

“Tentu hal ini akan menciptakan kekhawatiran bagi dunia usaha, terutama produsen dan pedagang minyak goreng yang telah membeli stok pada saat harga tinggi,” ujarnya.

Memang, pemerintah menyampaikan bahwa selisih biaya produksi akan diganti oleh pemerintah melalui BPDPKS dan telah ada anggarannya untuk hal tersebut.

“Dengan demikian, menurut kami, pemerintah harus benar-benar memastikan kemudahan melakukan reimbursement selisih biaya produksi agar minat pelaku usaha untuk terus memproduksi minyak goreng tetap terjaga,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya