Liputan6.com, Jakarta - Pelaku kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung, Herry Wirawan divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Jawa Barat, pada 15 Februari 2022.
Vonis penjara seumur hidup itu lebih ringan dari tuntutan mati yang dilayangkan jaksa. Bukan hanya itu, sembilan korban pelecehan seksual Herry diputuskan hakim agar dirawat Pemprov Jawa Barat.
Advertisement
Namun, restitusi atau biaya ganti kerugian korban perkosaan Herry Wirawan dibebankan ke negara. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) diwajibkan membayar restitusi kepada korban dengan total Rp 331.527.186 (Rp 331 juta).
Atas putusan itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar), Asep N Mulyana, mengungkapkan pertimbangan hak banding. Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri mengajukan banding atas vonis kepada Herry Wirawan pada Senin (21/2/2022).
Asep menekankan bahwa Kejati Jabar konsisten meminta hakim untuk mengabulkan vonis hukuman mati pada terdakwa Herry Wirawan dan ditambahkan pidana kebiri kimia.
"Kami tetap menganggap bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan itu sebagai kejahatan sangat serius. Sehingga kami tetap konsisten bahwa tuntutan kami adalah tuntutan pidana mati," ujar Asep.
Bubarkan Yayasan Manarul Huda
Bukan hanya meminta tuntutan hukuman mati, Kejati dalam memori banding yang diajukan juga mempersoalkan hak asuh terhadap anak yang dilahirkan oleh para santri. Asep berpendapat, hal tersebut mesti diserahkan secara bertahap kepada keluarga korban.
"Kami serahkan dahulu kepada orang tua kandung dari yang bersangkutan, tidak serta merta diserahkan begitu saja," tutur Asep.
JPU juga menuntut hakim mengabulkan pembubaran Yayasan Manarul Huda Antapani milik Herry Wirawan. Asep menyatakan, yayasan itu adalah sebuah alat Herry Wirawan dalam melakukan aksi kejahatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 39 KUHP.
Menurut Asep, jika tidak ada yayasan dan tidak ada pondok pesantren, maka tak mungkin para orang tua menitipkan anaknya ke Yayasan Manarul Huda tersebut.
"Ini termasuk dalam kategori corporate criminal atau dalam bahasa akademis disebut korporasi misdaad. Jadi, sebuah badan hukum yang sejak awal dibuat untuk melakukan kejahatan," katanya.
Banyaknya tuntutan membuat Kejati konsisten memperjuangkan tuntutan hukuman mati, yang sebelumnya telah disampaikan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri kelas 1A Bandung.
"Kami akan terus konsisten dalam tuntutan yang kami ajukan pada prekursor kami sebelumnya," tegas Asep.
Advertisement
Ganti Rugi Korban Kenapa Ditanggung Negara?
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Jawa Barat yang mewajibkan Kementerian PPPA membayar restitusi kepada korban perkosaan Herry Wirawan dengan total Rp 331.527.186 (Rp 331 juta) mengundang tanya.
Tanggapan beragam datang dari berbagai kalangan soal restitusi korban perkosaan Herry Wirawan yang dibebankan ke negara.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, menilai pembayaran restitusi tidak seharusnya dibebankan kepada negara, melainkan pada pelaku.
"Terhadap putusan ini LPSK berpandangan ini belum inkrah. Jaksa masih bisa melakukan banding. Putusan hakim untuk membebankan restitusi kepada Kementerian PPPA kurang tepat. Restitusi itu diberikan kepada korban oleh pelaku atau pihak ketiga. Argumennya PP Nomor 43 Tahun 2017 tidak dikenal pihak ketiga," kata Edwin dalam diskusi daring, Rabu (23/2/2022).
Menurut Edwin, negara bukan pihak ketiga dan tidak ada hubungan dengan pelaku, sehingga tidak dapat dibebankan restitusi.
"Negara tidak ada hubungan dengan perbuatan pidana pelaku. Pihak ketiga harus pihak jelas hubungannya dengan pelaku," ujar Edwin.
Pembayaran restitusi, kata Edwin, semestinya dapat melalui penyitaan aset-aset yayasan Herry Wirawan. Selain itu, yayasan milik pelaku juga harus dibubarkan. "Aset disita dan dijual untuk pembayaran restitusi yang menjadi vonis pengadilan," katanya.
Dukungan Banding dari Komisi III DPR
Komisi III DPR mendukung langkah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK untuk banding keputusan pengadilan terkait pembayaran ganti rugi atau restitusi korban pemerkosaan Herry Wirawan, yang diputuskan dibebankan ke negara.
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menyatakan, secara hukum keputusan hakim memang harus diterima, namun apabila ada pihak yang merasa belum mendapat rasa keadilan, maka jalan banding bisa ditempuh.
"Saya sepakat keputusan pengadilan kita memang harus hormati, namun wajar juga kalau ada yang terusik rasa keadilannya maka banding ini memang perlu dilakukan," kata Arsul dalam diskusi daring Restitusi vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual, Rabu (23/2/2022).
"Sepakat dengan melakukan upaya banding. Paling tidak kita ingin mengembangkan perspektif lebih jelas, lebih rasa keadilan," sambungnya.
Komisi III DPR RI, kata Arsul, akan membawa persoalan restitusi korban kekerasan seksual ini dalam pembahasan RUU KUHP. "DPR RI mengucapkan terima kasih pada LPSK yang mengingatkan kami nanti ketika RKUHP kembali dibahas," kata Arsul.
"Saya kira dari kasus Herry memang perlu ada penambahan pengaturan kompensasi dalam RKUHP, terkait membuat biaya ganti rugi sebagai hukuman tambahan setelah hukuman seumur hidup," ujar dia.
Menurut Arsul, diskusi terkait restitusi tersebut akan dibahas oleh DPR dan menjadi bahan pertimbangan ke depan dalam pembahasan RKUHP. "Saat ini komisi III sedang siapkan naskah akademik. Terima kasih elemen masyarakat sudah memperkaya draft RKUHAP," tuturnya.
Advertisement