Liputan6.com, Jakarta Serangan Rusia terhadap Ukraina turut berimbas pada kenaikan harga minyak dunia di atas USD 100 per barel. Situasi ini juga mengancam Indonesia, karena bisa mengakibatkan hiperinflasi serta kenaikan pesat harga komoditas.
Hiperinflasi merupakan kondisi di mana terjadi inflasi yang tidak terkendali. Kondisi ini ditandai dengan lonjakan harga-harga barang yang begitu cepat dan nilai uang menurun drastis dan diluar kendali.
Advertisement
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperingatkan, jika pemerintah tidak mengambil sikap atas kejadian ini, hal tersebut bakal mengganggu program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
"Inflasi akan di atas 4-5 persen secara tahunan, dan pertumbuhan ekonomi bergerak di 4 persen," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (24/2/2022).
"Kemungkinan terburuk, hiperinflasi di dalam negeri dan pelemahan rupiah hingga level Rp 15.000-16.000 per dolar AS," tegas Bhima.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator, khususnya nilai tukar rupiah dan inflasi.
"Karena inflasinya bisa lebih tinggi daripada perkiraan, dan perlu dilakukan antisipasi," imbuh dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Stabilkan Harga Pangan
Salah satu bentuk antisipasi yang bisa dilakukan, dengan menggelontorkan tambahan dana PEN. Itu sebagian turut mencakup stabilitas harga pangan dan harga energi ke dalam komponen anggaran PEN.
"Karena ini mengancam serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," seru Bhima.
"Jadi ketika pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, maka harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya seperti BBM, Pertamax, Pertalite, harus bisa terjaga harganya sampai akhir 2022," desaknya.
Advertisement