Perang Rusia-Ukraina, Siap-Siap Harga Minyak hingga Inflasi Melonjak

Pasukan Rusia melakukan penyerangan setelah Presidennya, Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Feb 2022, 16:10 WIB
Sebuah tank Rusia berangkat ke Rusia setelah latihan gabungan angkatan bersenjata Rusia dan Belarusia sebagai bagian dari inspeksi Pasukan Tanggapan Negara Serikat, di lapangan tembak dekat Brest (15/2/2022). (Handout/Russian Defence Ministry/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Hari ini Rusia melakukan agresi militer di wilayah Ukraina. Pasukan Rusia melakukan penyerangan setelah Presidennya, Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina, pada Kamis (24/2).

Ekonom Bhima Yudhistira menilai ketegangan yang terjadi di Ukraina akan membuat sejumlah harga komoditas melonjak. Salah satunya harga minyak mentah sampai jam 12 siang tadi telah mencapai USD 100,7 per barel atau nail 2,85 persen untuk minyak brent dan USD 94,9 per barel atau naik 3,01 persen untuk jenis light Sweet WTI.

"Minyak mentah sekarang sudah di atas USD 100 per barel," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (24/2/2022).

Tingginya harga minyak mentah tersebut bisa membuat belanja negara untuk subsidi energi kian membengkak. Mengingat harga minyak mentah yang tertulis dalam APBN 2022 hanya USD 63 per barel. Bahkan dalam laporan Kementerian Keuangan, sampai akhir Januari 2022 belanja negara untuk subsidi energi mencapai Rp 10,2 triliun.

"Jadi gap harga minyak di APBN dan secara riil ini sudah jauh dan akan semakin membengkak untuk subsidi energi," kata dia.

 


Dampak ke Inflasi

Anggota Pasukan Pertahanan Teritorial Ukraina, unit militer sukarelawan Angkatan Bersenjata, berlatih di taman kota di Kyiv, Ukraina, 22 Januari 2022. Puluhan warga sipil bergabung dengan tentara cadangan Ukraina dalam beberapa pekan terakhir di tengah ancaman invasi Rusia. (AP Photo/Efrem Lukatsky)

Selain itu, agresi militer Rusia berpotensi meningkatkan inflasi dan membuat biaya logistik atau pengiriman barang melonjak. Begitu juga dengan harga bahan pokok, diperkirakan akan meningkat dan membuat daya beli masyarakat semakin rendah.

Untuk itu, kata Bhima sudah seharusnya pemerintah merevisi APBN tahun 2022 karena ada beberapa indikator yang membuat perencanaan pemerintah akan meleset. Khususnya untuk nilai tukar rupiah dan inflasi yang bisa lebih tinggi dari perkiraan.

"Oleh karena itu, mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan APBN," kata dia.

Pemerintah juga disarankan untuk melakukan antisipasi lainnya seperti menambah dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup harga pangan dan stabilitas arga energi. Sebab, konflik yang terjadi di global tersebut bisa mengancam tren pemulihan ekonomi nasional.

"Jadi kalau pemerintah mau pertumbuhan ekonomi tumbuh di atas 5 persen, maka harus dipastikan stabilitas harga minyak goreng, kedelai maupun komoditas lainya. BBM , Pertamax dan Pertalite harus bisa terjaga harganya sampai akhir 2022," kata dia mengakhiri.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Medeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya