Langkah KPPU Usai Temuan 1 Juta Kg Minyak Goreng di Deli Serdang Bukan Penimbunan

Kapolda Sumut, Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak, pada Rabu, 23 Februari 2022, mengatakan, 1,1 juta kilogram minyak goreng yang ditemukan di pabrik PT Salim Ivomas Pratama, Lubuk Pakam, Deli Serdang, bukan penimbunan.

oleh Reza Efendi diperbarui 24 Feb 2022, 17:11 WIB
Saat ditemukan, minyak goreng di gudang PT Salim Ivomas Pratama berjumlah 92.677 kotak. Sementara kebutuhan perusahaan per bulan selama produksi berjumlah 94.684 kotak (Ist)

Liputan6.com, Medan Kapolda Sumut, Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak, pada Rabu, 23 Februari 2022, mengatakan, 1,1 juta kilogram minyak goreng yang ditemukan di pabrik PT Salim Ivomas Pratama, Lubuk Pakam, Deli Serdang, bukan penimbunan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Medan, Ridho Pamungkas mengatakan, definisi dan kriteria penimbunan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2015 tentunya menjadi ranah pihak kepolisian.

"Kepolisian sudah melakukan pendalaman terkait jumlah dan waktu tertentu, serta pada saat terjadi kelangkaan barang," kata Ridho, Kamis (24/2/2022).

Namun, lanjut Ridho, KPPU masih akan mendalami apakah temuan tersebut terkait dengan penahanan pasokan dalam rangka mengatur harga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 atau tidak.

Dijelaskannya, dari perspektif persaingan usaha, tindakan penimbunan atau menahan pasokan dapat efektif dalam rangka mengatur harga ketika pelaku merupakan penguasa pasar, atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha sejenis melakukan hal yang sama.

"Namun ketika HET sudah ditetapkan oleh pemerintah, namun masih tetap terjadi penimbunan, maka kemungkinan ada alasan atau motif tertentu lain," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Berbagai Perilaku Pelaku Usaha

Gudang minyak goreng (Ist)

Diterangkan Ridho, fakta di lapangan, terjadinya kelangkaan minyak goreng di pasar dan pendistribusi minyak goreng sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) belum merata di sejumlah tempat. Hal ini dapat memicu berbagai perilaku pelaku usaha dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dicontohkan, pada tingkat produsen misalnya, mereka akan lebih memilih untuk menyalurkan minyak goreng ke industri, karena untuk industri tidak ada ketentuan mengenai HET. Di tingkat distributor, mereka juga dapat saja memilih untuk menyalurkan ke industri untuk mendapatkan untung lebih besar.

Kemudian di tingkat ritailer, beberapa pedagang ada yang memanfaatkan untuk menjual minyak goreng dengan syarat tertentu, misalnya harus minimal belanja Rp 300.000 atau dipaketkan dengan produk lain (tying atau bundling).

Mengenai tying atau bundling, Ridho mengatakan, bundling adalah suatu strategi pemasaran di mana produk dikelompokkan bersama menjadi 2 atau lebih dalam 1 kemasan penjualan dengan 1 harga.

Sementara praktik tying adalah, upaya yang dilakukan pihak penjual menyaratkan konsumen untuk membeli produk kedua saat mereka membeli produk pertama, atau paling tidak konsumen sepakat untuk tidak membeli produk kedua di tempat lain.

"Kedua perilaku tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999," terangnya.


Tetap Lakukan Pengawasan

Polda Sumut dan Kodam I/Bukit Barisan membantu percepatan pendistribusian minyak goreng (Ist)

Terkait dengan hal tersebut, sebut Riho, KPPU bersama pemerintah, Satgas Pangan, Ombudsman, dan stakeholder lain, berdasarkan kewenangannya masing-masing akan tetap melakukan pengawasan terhadap pendistribusian minyak goreng di masyarakat.

Ridho juga mengkritisi dan mengevaluasi, apakah kebijakan pemerintah sudah sesuai dan tepat sasaran, baik dari sisi cost and benefit, atau dari perspektif persaingan usaha yang sehat.

"Kita berharap ada kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat menengah ke bawah dan UMKM yang saat ini kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga HET," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya